Quo Vadis Guru dan Organisasinya?

(Sudah dipublikasikan di Media Informasi dan Komunikasi Undana, No.151/Juni 2011)

(Oleh: Gusti Omkang Hingmane, S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, Undana)

Pada era orde baru, organisasi guru diidentikkan dengan PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Pada masa itu, PGRI dapat dikatakan satu-satunya organisasi guru yang diakui pemerintah. Posisi guru saat itu sangat lemah, digaji rendah pun tidak ada yang menentang. Guru dininabobokan dengan slogan ”pahlawan tanpa jasa”.
Selain itu, guru tidak berani secara terbuka mengkritisi kebijakan pemerintah. Hal ini bisa dipahami. Dalam beberapa kasus, guru yang kritis dimutasi ke daerah terpencil atau turun pangkat. Akibatnya, banyak guru memilih diam. Bahkan dalam berpolitik pun, guru (khususnya PNS yang seharusnya netral) pada masa itu digiring untuk memilih salah satu partai politik tertentu.
Tetapi setelah reformasi, bermunculah beberapa organisasi guru. Misalnya Federasi Guru Independen Indonesia, Persatuan Guru Karyawan Swasta Indonesia, Persatuan Guru Tidak Tetap Indonesia, Forum Tenaga Honorer Negeri Indonesia, Forum Ilmiah Guru dan masih banyak lagi. Bahkan di setiap daerah bermunculan organisasi guru, baik yang menamakan dirinya persatuan, ikatan atau forum guru.
Menurut penulis, latarbelakang kemunculan berbagai organisasi guru tersebut dikarenakan beberapa hal. Pertama, belum tertampungnya aspirasi guru dalam wadah organisasi yang sudah ada. Banyak guru menganggap ada organisasi guru terlalu menganakemaskan guru guru-guru tertentu. Akibatnya, banyak guru merasa dianaktirikan, sehingga lahirlah organisasi guru yang baru. Selain itu, ada yang beranggapan bahwa ada organisasi guru yang adalah perpanjangan tangan birokrasi untuk menekan guru-guru tertentu (Darmaningtyas, 2007). Sebagai contoh kecil, Banyak guru honorer baik di sekolah swasta maupun negeri mengeluh, setiap bulan gajinya dipotong untuk iuran bulanan, bahkan sampai sekarang, banyak guru yang hanya terima 300 ribu per bulan, jauh di bawah UMP NTT” (Timex, 10/12/2009: 5). Itu pun organisasi guru tetap berdiam diri.
Kedua, adanya perubahan kondisi politik bangsa Indonesia dari orde baru ke era reformasi. Sebelumnya, orang takut berbeda sikap dengan pemerintah. Sekarang, setiap orang bebas untuk berserikat dan menyampaikan pendapat (UUD 1945). Pemerintah saat itu mengarahkan organisasi guru hanya satu, untuk memudahkan dalam mengontrolnya. Seiring dengan perubahan waktu, saat ini telah banyak berdiri organisasi guru. Dalam hal penyampaian pendapat, guru yang melakukan demonstasi di masa itu dianggap tabu. Sekarang, demonstrasi dianggap hal biasa dalam memperjuangkan nasib guru.
Ketiga, semangat untuk meningkatkan profesionalisme guru. Kalau sebelumnya pekerjaan guru dianggap sebelah mata, kini dianggap setara dengan profesi lain seperti dokter, pengacara, dan akuntansi. Namun, dalam beberapa hal masih ditemukan kendala. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu adanya organisasi profesi. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD). Dalam Pasal 14 1 (h) disebutkan, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi. Tetapi dalam praktiknya masih saja birokrat pendidikan sekarang yang secara terselubung mewajibkan kepada guru untuk bergabung ke salah satu organisasi guru tertentu, khususnya yang berstatus pegawai negeri sipil. Padahal ini jelas melanggar UUGD.
Melihat perkembangan organisasi guru yang ada, tidak semua dapat dikategorikan sebagai organisasi profesi guru. Biasanya kalau organisasi profesi itu sifatnya permanen, bukan insidental. Dengan kata lain, apa yang dilakukan organisasi guru itu harus dilakukan secara terus menerus. Bukan setelah perjuangannya selesai, kemudian organisasi tersebut berhenti beraktivitas.

Memajukan Profesi
Kedudukan guru sekarang makin berat, terutama jika dibandingkan sebelum adanya UUGD. Saat ini guru diposisikan sebagai tenaga profesional yang berfungsi meningkatkan martabat, dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional (UUGD Pasal 2 ayat 1). Karenanya, guru dituntut untuk selalu terus meningkatkan kualitas kompetensinya.
Salah satu cara meningkatkannya adalah melalui organisasi profesi guru. Dalam UUGD Pasal 41 (2) disebutkan, organisasi profesi berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat. Dari pasal itu dapat dikatakan, keberadaan organisasi profesi akan meningkatkan profesionalisme guru. Karena di sana ada interaksi antarguru untuk memikirkan bagaimana meningkatkan profesionalismenya secara terus-menerus.
Dalam organisasi profesi guru, tidak ada perbedaan antara guru yang sudah lulus sertifikasi dan yang belum mengikuti/belum lulus sertifikasi. Secara teori, guru yang sudah lulus uji sertifikasi dapat dikatakan sebagai guru profesional. Tetapi bukan berarti tak perlu organisasi profesi guru. Bahkan guru yang sudah lulus harus membuktikan dirinya sebagai guru yang benar-benar profesional dengan terus berinovasi dalam pembelajaran atau meng-update pengetahuan dalam pendidikan.
Salah satu cara untuk selalu meningkatkan profesi guru adalah menjadi anggota profesi guru, termasuk di dalamnya guru yang belum mengikuti uji sertifikasi. Tidak salah kalau dalam UUGD Pasal 41 (3) mewajibkan setiap guru untuk mengikuti organisasi profesi guru.

Perubahan Paradigma
Memang, payung hukum untuk mewajibkan setiap guru mengikuti organisasi profesi perlu ada. Tetapi juga perlu penyadaran kepada guru tentang manfaat mengikuti organisasi itu. Selama ini, menurut penulis, guru mengikuti organisasi profesi lebih mengedepankan memenuhi kewajiban. Akibatnya, mereka hanya sekedar ikut-ikutan, bahkan ada yang terpaksa. Idealnya, bergabung dengan organisasi guru benar-benar menjadi sebuah kebutuhan untuk mengembangkan profesinya.
Melihat kenyataan di atas, perlu ada perubahan paradigma dalam pengembangan organisasi profesi guru. Pertama, perubahan manajemen profesi guru. Selama ini guru hanya dianggap sebagai objek para petinggi organisasi. Bahkan ada anggapan masuk organisasi profesi guru ujung-ujungnya gajinya yang tidak seberapa dipotong setiap bulan. Sebenarnya guru tak mempermasalahkan besarnya iuran, tetapi bagaimana pertanggunggjawaban penggunaan dana itu, agar betul-betul bermanfaat untuk anggota profesi guru. Maka, pernyataan ini harus dijawab pengurus organisasi profesi guru, dengan mengelola keuangan secara transparan dan akuntabel. Dengan demikian, setiap anggota bisa mengakses laporan pertanggungjawaban. Tidak kalah penting, organisasi profesi tersebut harus betul-betul memberdayakan semua anggotanya sebagai subjek, dan bukan lagi sebagai objek.
Kedua, birokrat pendidikan. Dalam organisasi profesi guru, seharusnya birokrat pendidikan berlaku adil kepada seluruh organisasi profesi guru yang ada. Jangan sampai dengan masuknya birokrat pendidikan ke dalam kepengurusan organisasi profesi guru akan memandang sebelah mata organisasi profesi guru lain. UUGD menjamin kebebasan guru untuk berserikat dalam organisasi profesi. Selain itu, birokrat pendidikan dan pemerintah harus memberi otonomi penuh kepada semua organisasi profesi dalam mengelolanya. Jangan sampai mengintervensi ketika ada guru yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, lalu dimutasi atau diturunkan pangkatnya. Kalau ada kasus seperti itu, maka guru dan organisasi profesi harus berdialog.
Ketiga, dari pihak guru. Menurut Paul Suparno (2004), reformasi pendidikan di Indonesia berjalan sangat lambat. Salah satu faktor penyebabnya adalah guru. Banyak guru tidak suka perubahan. Guru sudah puas dengan tugas sehari-hari di kelas, sehingga ketika ada perubahan dalam pendidikan justru menjadi kaget dan bingung. Kondisi ini tidak sertamerta disalahkan kepada guru, karena selama puluhan tahun mereka ditempatkan sebagai robot yang harus melaksanakan perintah atasannya. Meminjam istilah Giroux, guru itu seharusnya seorang intelektual transformatif. Seorang intelektual yang dapat ikut merubah suasana dan keadaan, serta menjadi agen perubahan masyarakat lewat anak didik yang dibantu secara kritis (dalam Paul Suparno, 2004).
Ada satu kutipan yang menarik dari Pos Kupang (16/11/2009: 5),”Ke depan sertifikasi guru ditinjau kembali karena ditemukan berbagai masalah dimana yang diharapkan ke depan adalah kompetensi gurunya, tetapi penilaian potofolio yang diberikan sekarang ini banyak terjadi manipulasi. Contoh, satu sertifikat nama beda, tetapi ada foto yang sama, penilaian hanya dilihat dari belakang meja, lebih banyak bersifat politis”. Maksudnya ialah, peran organisasi guru sangat dibutuhkan dalam membentuk guru yang betul-betul profesional. Hal seperti ini perlu diperhatikan! Dalam pada itu, pertanyaan sinis untuk kita bersama ialah, apakah para guru sudah ada di dalam organisasi guru di NTT ini? Jika belum, quo vadis guru dan organisasinya di propinsi ini? Apakah organisasi guru telah berjalan di relnya atau masih dengan kepentingan-kepentingannya? Apakah hal-hal yang dihadapi banyak guru di NTT ini sudah termanifestasi representasinya oleh organisasi yang menamai organisasi guru? Inilah seuntai pertanyaan yang perlu direnungi dan dilakukan jika belum dikonkritkan di daerah kita yang tercinta ini. Merdeka!


Post a Comment (0)
Previous Post Next Post