Memasuki tahun ajaran baru, pemerintah,
sekolah dan masyarakat kembali diperhadapkan pada masalah pendidikan yang sama
seperti tahun sebelumnya, yakni kurangnya daya tampung sekolah-sekolah di kota Kupang. Hal ini
menjadi topik pembicaraan yang paling hangat di kalangan masyarakat di kota Kupang. Betapa
tidak, mereka harus berjuang “extra”
untuk mendaftarkan anak-anak mereka pada sekolah idamannya masing-masing.
Mereka rela meninggalkan tugas dan tanggungjawab rumah tangga dan perkantoran untuk
antri berjam-jam di loket pendaftaran.
Bagi masyarakat, sekolah yang diidamkan
tidak hanya menyangkut mutu yang ditawarkan, namun juga berupa sekolah yang
dapat dijangkau dalam waktu singkat dan mudah, sehingga mereka dapat dengan
mudah pula memantau anak-anak mereka. Maksudnya adalah, mereka mau memasukkan
anak-anak mereka di sekolah, dimana mereka berdomisili. Karena di mata mereka,
dengan hal demikian kehidupan akan lebih ekonomis dan keberlangsungngan
pendidikan pun akan lebih baik lagi, dimana para orang tua pun ikut memantau, serta
menjaga kondisi sekitar sekolah tersebut, sehingga jauh dari hal-hal yang tidak
diinginkan. Katakanlah, anak-anak tidak minum minuman keras, berkeliaran pada
jam pelajaran, berpacaran di luar sekolah, tidak adanya suara bising dan lain
sebagainya.
Masyarakat mau, agar anak-anak mereka serius
mengenyang pendidikan. Mereka juga mau mengontrol pendidikan, karena di mata
mereka, mereka adalah salah satu komponen penunjang akan pendidikan di negeri
ini, di samping pemerintah dan sekolah. Dalam pada itu, mereka tidak mau
anak-anak mereka menipu mereka, seperti ongkos ke sekolah, waktu pelajaran (pulang sampai
berlarut-larut), tuntut ini atau itu dari sekolah, dan lain sebagainya. Singkat
kata, para orang tua dapat membantu mengontrol para siswa-siswi (anak mereka). Pertanyaanya
untuk sekolah dan pemerintah, apakah ini telah terpikir oleh sekolah dan
pemerintah? Apakah benar-benar masyarakat telah dilibatkan dalam dunia
pendidikan?
Masalahnya, yang terjadi belakangan ini,
sekolah-sekolah idaman tadi malah lebih banyak menampung peserta didik yang bukan
berasal dari daerah domisili dari sekolah tersebut, bahkan tidak menutup
kemungkinan siswa berdomisili di daerah sekitar sekolah juga tidak diterima
walaupun lolos Ujian Nasional, hal itu dikarenakan tidak memenuhi salah satu
syarat masuk sekolah tersebut.
Pertanyaanya yang berhubungan dengan hal di
atas adalah, apakah mekanisme seleksi masuk sekolah yang diterapkan benar-benar
“fair” ketimbang Ujian Nasional?
Karena sampai-sampai nilai yang diraih oleh siswa pun masih diragukan bahkan harus
ditest ulang. Hal ini ternyata kurang mendapat tempat di hati masyarakat. Ada keyakinan bahwa
kualitas dan potensi diri yang dimiliki anak didik, tidak mutlak menentukan
anak didik masuk ke suatu sekolah. Alasannya sangat jelas, karena Ujian
Nasional tidak lagi memiliki keabsahan di mata masyarakat dewasa ini,
dikarenakan oleh ulah dari pemerintah dan sekolah yang tidak menampung
anak-anak mereka. Dan jika di kemudian hari terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan oleh sekolah dan pemerintah yang diaktori oleh masyarakat setempat,
kami pikir, ini jangan disalahtafsirkan masalahnya, karena sudah jelas masalah
yang diuraikan dalam tulisan ini.
Kenyataan ini semakin memudarkan rasa
percaya masyarakat terhadap pelayanan pendidikan di daerah ini, terutama di
lingkungan dimana mereka berdomisili. Hal ini kemudian membuat mereka merasakan
adanya ketidakadilan dalam pelayanan pendidikan. Perasaan tersebut akhirnya
bergejolak dalam hati mereka yang kemudian
melahirkan unjuk rasa sebagaimana berita yang diturunkan koran ini (Timor Express, Senin, 19 Juli 2010),
tentang pengaduan para orang tua siswa yang berdomisili di sekitar sekolah
kepada Walikota Kupang dikarenakan tidak diterimanya anak mereka di sekolah
tempat mereka berdomisili. Ini catatan penting untuk Walikota dan sekolah, agar
benar-benar ke depan diperhatikan lebih serius.
Sekolah bergengsi bukan lagi jaminan untuk
masa depan anak-anak. Bentuk pelayanan dan kerja sama yang benar-benar “cooperative” antara orang tua murid dengan pihak sekolah serta
pemerintah menjadi hal yang terpenting dalam usaha membangun pendidikan yang
lebih berkualitas.
Asumsi di atas tersebut yang sekarang menjadi
batu loncatan buat orang tua siswa untuk menjatuhkan pilihan pada sekolah
terdekat. Ini dapat berarti bahwa sekolah idaman mereka adalah sekolah yang
berada di lingkungan tempat tinggal mereka masing-masing. Para
orang tua benar-benar merasa kecewa karena harus mencari sekolah lain setelah
anak-anaknya dinyatakan tidak lolos seleksi pada sekolah tersebut.
Membangun layanan pendidikan bermutu dapat berupa pengembangngan kondisi yang
tidak dapat dipegang (intangible)
seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, rasa tentram pada
peserta didik, perasaan saling menerima dan saling memiliki diantara komponen
yang terkait serta hal lain yang berkaitan dengan penanaman tata nilai dan
akhlak sosial. Antara proses dan keluaran pendidikan (output) yang bermutu saling berhubungan satu sama lain. Akan tetapi agar
proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian output harus dirumuskan lebih dahulu
oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap kurun waktu
lainnya pada setiap tahun ajaran. Ini semua merupakan hal-hal yang saling
berkaitan termasuk proses awal yang baik ketika seseorang diterima atau tidak di
suatu sekolah tertentu dan seperti apa proses itu berlangsung. Pelayanan
pendidikan, jika diawali dengan baik (proses) maka akan berakhir pula dengan
baik yang dapat dilihat pada hasil dari proses tersebut. Dengan demikian,
seluruh komponen masyarakat dengan sendirinya akan menyaksikan perkembangan
pendidikan di daerah ini. Selanjutya pemerintah bersama masyarakat dapat
memprediksi ke mana arah dan tujuan perjalanan pendidikan di kota Kupang(quo
vadis), khususnya siswa yang berdomisili di sekitar sekolah tersebut. Kami
yakin hal ini akan membawa kontribusi yang besar terhadap sekolah tersebut.
Dalam kaitannya dengan layanan pendidikan
yang berkualitas di daerah ini, mungkinkah penerapan birokrasi semacam ini
dapat mendongkrak mutu pendidikan pada awal tahun ajaran ini? Rasanya belum
tentu! Ini dikerenakan kurangnya kerja sama yang baik antara pihak sekolah dan
orang tua murid (masyarakat) beserta pemerintah. Bagaimana dapat terjalin kerja
sama yang baik jika dari awalnya orang tua murid telah merasa resah sebagai
akibat ketidakadilan dalam pengelolaan pendidikan yang diaktori pemerintah
beserta sekolah.
Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu
mengacu pada proses dan keluaran (output) pendidikan itu sendiri. Proses dan layanan pendidikan yang bermutu,
pada dasarnya melibatkan berbagai input, seperti bahan ajar (kognitif, afektif
dan psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan tenaga
kependidikan), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana serta
partisipasi dan dukungan orang tua murid (masyarakat) yang proaktif. Sekali
lagi hal ini yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dan sekolah. Tanpa
adanya “cooperative” yang baik dari
ketiga elemen ini, apa yang diidealkan akan sia-sia.
Dengan adanya pengertian dari pemerintah dan
sekolah akan pentingnya masyarakat domisili dalam berkontribusi terhadap dunia
pendidikan, maka secara tidak langsung kualitas pun akan meningkat drastis. Hal
itu dikarenakan masyarakat juga dipercayakan dalam mengambil peran dalam dunia
pendidikan, apalagi anak mereka juga bersekolah pada sekolah yang ada pada
daerah dimana mereka berdomisili. Kami yakin, hal ini yang kemudian akan
menghilangkan rasa saling menyalahkan karena ketiga komponen benar-benar
terlibat di dalamnya. Ber-cooperate-lah dalam mensukseskan pendidikan ini!
Merdeka!