Quo Vadis Masyarakat dalam Pendidikan?

(Oleh: Gusti Omkang Hingmane, S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, UDANA)


Memasuki tahun ajaran baru, pemerintah, sekolah dan masyarakat kembali diperhadapkan pada masalah pendidikan yang sama seperti tahun sebelumnya, yakni kurangnya daya tampung sekolah-sekolah di kota Kupang. Hal ini menjadi topik pembicaraan yang paling hangat di kalangan masyarakat di kota Kupang. Betapa tidak, mereka harus berjuang “extra” untuk mendaftarkan anak-anak mereka pada sekolah idamannya masing-masing. Mereka rela meninggalkan tugas dan tanggungjawab rumah tangga dan perkantoran untuk antri berjam-jam di loket pendaftaran.
Bagi masyarakat, sekolah yang diidamkan tidak hanya menyangkut mutu yang ditawarkan, namun juga berupa sekolah yang dapat dijangkau dalam waktu singkat dan mudah, sehingga mereka dapat dengan mudah pula memantau anak-anak mereka. Maksudnya adalah, mereka mau memasukkan anak-anak mereka di sekolah, dimana mereka berdomisili. Karena di mata mereka, dengan hal demikian kehidupan akan lebih ekonomis dan keberlangsungngan pendidikan pun akan lebih baik lagi, dimana para orang tua pun ikut memantau, serta menjaga kondisi sekitar sekolah tersebut, sehingga jauh dari hal-hal yang tidak diinginkan. Katakanlah, anak-anak tidak minum minuman keras, berkeliaran pada jam pelajaran, berpacaran di luar sekolah, tidak adanya suara bising dan lain sebagainya.
Masyarakat mau, agar anak-anak mereka serius mengenyang pendidikan. Mereka juga mau mengontrol pendidikan, karena di mata mereka, mereka adalah salah satu komponen penunjang akan pendidikan di negeri ini, di samping pemerintah dan sekolah. Dalam pada itu, mereka tidak mau anak-anak mereka menipu mereka, seperti ongkos ke sekolah, waktu pelajaran (pulang sampai berlarut-larut), tuntut ini atau itu dari sekolah, dan lain sebagainya. Singkat kata, para orang tua dapat membantu mengontrol para siswa-siswi (anak mereka). Pertanyaanya untuk sekolah dan pemerintah, apakah ini telah terpikir oleh sekolah dan pemerintah? Apakah benar-benar masyarakat telah dilibatkan dalam dunia pendidikan?
Masalahnya, yang terjadi belakangan ini, sekolah-sekolah idaman tadi malah lebih banyak menampung peserta didik yang bukan berasal dari daerah domisili dari sekolah tersebut, bahkan tidak menutup kemungkinan siswa berdomisili di daerah sekitar sekolah juga tidak diterima walaupun lolos Ujian Nasional, hal itu dikarenakan tidak memenuhi salah satu syarat masuk sekolah tersebut.
Pertanyaanya yang berhubungan dengan hal di atas adalah, apakah mekanisme seleksi masuk sekolah yang diterapkan benar-benar “fair” ketimbang Ujian Nasional? Karena sampai-sampai nilai yang diraih oleh siswa pun masih diragukan bahkan harus ditest ulang. Hal ini ternyata kurang mendapat tempat di hati masyarakat. Ada keyakinan bahwa kualitas dan potensi diri yang dimiliki anak didik, tidak mutlak menentukan anak didik masuk ke suatu sekolah. Alasannya sangat jelas, karena Ujian Nasional tidak lagi memiliki keabsahan di mata masyarakat dewasa ini, dikarenakan oleh ulah dari pemerintah dan sekolah yang tidak menampung anak-anak mereka. Dan jika di kemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh sekolah dan pemerintah yang diaktori oleh masyarakat setempat, kami pikir, ini jangan disalahtafsirkan masalahnya, karena sudah jelas masalah yang diuraikan dalam tulisan ini.
Kenyataan ini semakin memudarkan rasa percaya masyarakat terhadap pelayanan pendidikan di daerah ini, terutama di lingkungan dimana mereka berdomisili. Hal ini kemudian membuat mereka merasakan adanya ketidakadilan dalam pelayanan pendidikan. Perasaan tersebut akhirnya bergejolak dalam hati mereka yang kemudian  melahirkan unjuk rasa sebagaimana berita yang diturunkan koran ini (Timor Express, Senin, 19 Juli 2010), tentang pengaduan para orang tua siswa yang berdomisili di sekitar sekolah kepada Walikota Kupang dikarenakan tidak diterimanya anak mereka di sekolah tempat mereka berdomisili. Ini catatan penting untuk Walikota dan sekolah, agar benar-benar ke depan diperhatikan lebih serius.
 Sekolah bergengsi bukan lagi jaminan untuk masa depan anak-anak. Bentuk pelayanan dan kerja sama  yang benar-benar “cooperative” antara orang tua murid dengan pihak sekolah serta pemerintah menjadi hal yang terpenting dalam usaha membangun pendidikan yang lebih berkualitas.
Asumsi di atas tersebut yang sekarang menjadi batu loncatan buat orang tua siswa untuk menjatuhkan pilihan pada sekolah terdekat. Ini dapat berarti bahwa sekolah idaman mereka adalah sekolah yang berada di lingkungan tempat tinggal mereka masing-masing. Para orang tua benar-benar merasa kecewa karena harus mencari sekolah lain setelah anak-anaknya dinyatakan tidak lolos seleksi pada sekolah tersebut.
Membangun layanan pendidikan bermutu  dapat berupa pengembangngan kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, rasa tentram pada peserta didik, perasaan saling menerima dan saling memiliki diantara komponen yang terkait serta hal lain yang berkaitan dengan penanaman tata nilai dan akhlak sosial. Antara proses dan keluaran pendidikan (output) yang bermutu saling berhubungan satu sama lain. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian output harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap kurun waktu lainnya pada setiap tahun ajaran. Ini semua merupakan hal-hal yang saling berkaitan termasuk proses awal yang baik ketika seseorang diterima atau tidak di suatu sekolah tertentu dan seperti apa proses itu berlangsung. Pelayanan pendidikan, jika diawali dengan baik (proses) maka akan berakhir pula dengan baik yang dapat dilihat pada hasil dari proses tersebut. Dengan demikian, seluruh komponen masyarakat dengan sendirinya akan menyaksikan perkembangan pendidikan di daerah ini. Selanjutya pemerintah bersama masyarakat dapat memprediksi ke mana arah dan tujuan perjalanan pendidikan di kota Kupang(quo vadis), khususnya siswa yang berdomisili di sekitar sekolah tersebut. Kami yakin hal ini akan membawa kontribusi yang besar terhadap sekolah tersebut.
Dalam kaitannya dengan layanan pendidikan yang berkualitas di daerah ini, mungkinkah penerapan birokrasi semacam ini dapat mendongkrak mutu pendidikan pada awal tahun ajaran ini? Rasanya belum tentu! Ini dikerenakan kurangnya kerja sama yang baik antara pihak sekolah dan orang tua murid (masyarakat) beserta pemerintah. Bagaimana dapat terjalin kerja sama yang baik jika dari awalnya orang tua murid telah merasa resah sebagai akibat ketidakadilan dalam pengelolaan pendidikan yang diaktori pemerintah beserta sekolah.
Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mengacu pada proses dan keluaran (output) pendidikan itu sendiri. Proses dan layanan pendidikan yang bermutu, pada dasarnya melibatkan berbagai input, seperti bahan ajar (kognitif, afektif dan psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan tenaga kependidikan), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana serta partisipasi dan dukungan orang tua murid (masyarakat) yang proaktif. Sekali lagi hal ini yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dan sekolah. Tanpa adanya “cooperative” yang baik dari ketiga elemen ini, apa yang diidealkan akan sia-sia.
Dengan adanya pengertian dari pemerintah dan sekolah akan pentingnya masyarakat domisili dalam berkontribusi terhadap dunia pendidikan, maka secara tidak langsung kualitas pun akan meningkat drastis. Hal itu dikarenakan masyarakat juga dipercayakan dalam mengambil peran dalam dunia pendidikan, apalagi anak mereka juga bersekolah pada sekolah yang ada pada daerah dimana mereka berdomisili. Kami yakin, hal ini yang kemudian akan menghilangkan rasa saling menyalahkan karena ketiga komponen benar-benar terlibat di dalamnya. Ber-cooperate-lah dalam mensukseskan pendidikan ini! Merdeka!









Post a Comment (0)
Previous Post Next Post