El Asamau: Simbol Perjuangan Demokrasi dan Keadilan Rakyat Kecil*

Yohanis El Asamau, seorang calon anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dari Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan nomor urut 5, yang masalahnya dalam pemilihan itu masih hits dan masih diperbincangkan di berbagai media sosial. Dalam pemilihan tersebut, El Asamau berhasil memperoleh 265.900 suara, sebuah angka yang mencerminkan dukungan kuat dari masyarakat yang percaya pada dirinya. Namun, perjalanan El Asamau menuju DPD RI tidaklah mudah. Hanya dengan selisih 1.295 suara, ia gagal memperoleh kursi yang diimpikan. Ia merasa dicurangi. Hasil yang sangat tipis ini memicu perhatian serius, terutama ketika ditemukan berbagai kejanggalan dalam penghitungan suara di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) (Sigiranus M Bere, 2024 (kompas.com); Selly, 2024 (detik.com); cr6/ ays, 2024 (timexkupang.fajar.co.id)).

Di banyak TPS, lebih dari 200 formulir C hasil mengalami perubahan dengan tipeks, tanpa paraf resmi, dan tanpa berita acara yang sah, dan tanpa video pendukung (El Asamau, 2024 (di akun facebooknya). Kejadian ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang integritas dan transparansi proses pemilihan, mengingat setiap suara sangat berharga dalam menentukan hasil pemilu yang demokratis. Latar belakang ini, kemudian membuat El Asamau bersama kuasa hukumnya mengadukan gugatannya ke Mahkamah Konstitusi (Sri Pujianti, 2024 (mkri.id); Sigiranus M Bere, 2024 (kompas.com); Selly, 2024 (detik.com); Sape, 2024 (kupang.tribunnews.com); cr6/ ays, 2024 (timexkupang.fajar.co.id))

Sosok seorang El Asamau adalah seorang yang representatif dari keluarga sederhana dan kurang mampu. Latar belakang ini, membuat banyak kaum dari kalangan bawah menaruh simpatinya. Apalagi ia selalu melakukan banyak kegiatan positif kepada masyarakat kalangan bawah. Perjuangannya ini menyita banyak perhatian. Ini sudah tentu, perjuangannya akan semakin bermakna, memperlihatkan betapa gigihnya orang banyak untuk bersamanya memperjuangkan nasib rakyat kecil sepertinya, yang sering kali terpinggirkan.

Menolak untuk berdiam diri, El Asamau dalam beberapa hari kemarin, memilih langkah konkret dengan turun ke jalan, meminta dukungan masyarakat melalui sebuah gerakan 1000 (Liu, 2024 dalam korantimor.com). Banyak orang berasumsi bahwa, tujuan utama gerakan ini adalah menggalang dukungan material, tetapi sebenarnya moral dari masyarakat dalam upaya mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Gerakan yang sebenarnya diidamkan bersama demi tercapainya negara yang demokratis. Bahwa harus tidak ada tipeks, ada tanda tangan, ada berita acara, bahkan ada video pendukung. Bukan tidak ada saksi di TPS, yang dipersoalkan.

Gerakan 1000 akan terus dilakukan, dan akan lebih massif lagi di berbagai daerah NTT. Lebih menarik lagi, semua dos, menurut saya harus bertuliskan “adakah keadilan untuk masyarakat kecil?”. Gerakan itu untuk mendulang mendukung para masyarakat tingkat bawah. Gerakan ini suka rela. Gerakan ini bukan memaksa orang untuk memberi, seperti banyak status media social yang menyerang El Asamau. Sebagai masyarakat yang mencintai negara kesatuan ini, yang dari kalangan bawah pasti akan tetap melangkah bersama El Asamau dan kuasa hukumnya. Dengan bersama El Asamau dan kuasa hukumnya, ada harapan untuk dapat membangun kekuatan kolektif untuk memperjuangkan keadilan pemilu. Ada harapan baru untuk NTT. Gerakan bersama adalah manifestasi dari demokrasi partisipatif, di mana rakyat berperan aktif dalam menjaga kemurnian proses demokrasi.

Warga NTT harus memastikan keadilan dan transparansi dalam proses pemilu itu ada. El Asamau dan Kuasa hukumnya telah berbuat untuk memastikan keadilan dan transparansi dalam pemilu melalui jalur hukum. Petisi-petisi yang sudah diisi oleh para pendukung. Komentar-komentar netizen di berbagai media social semakin membludak (Sape, 2024 (kupang.tribunnews.com)). Itu bukti nyata dukungan luas dari masyarakat yang menginginkan keadilan. Perjuangan yang sudah dilakukan itu menegaskan bahwa setiap suara harus dihitung dengan benar dan adil, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang baik. Semoga saja, para hakim mahkamah konstitusi mendengar, melihat, dan memaknai perjuangan masyarakat kecil, seperti El Asamau.

El Asamau bersama kuasa hukumnya telah berani melawan ketidakadilan. Terus bagaimana dengan anda sekalian (organiasai atau individu)? Pasif? Apa karena El Asamau bukan orang berada, yang kemudia ada berdiam diri? Kalau demikian, janganlah berbicara demokrasi ke depan. Janganlah berbicara keadilan ke depan, selama hal ini masih tidak dianggap bermasalah. Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Kalau bukan anda semua, siapa lagi? Dengan dukungan dari semua kita, berarti ada harapan. Harapan dapat membawa perubahan positif dalam sistem pemilu Indonesia, memastikan bahwa proses demokrasi akan berjalan dengan lebih transparan dan adil. Dan akan ada kesempatan untuk El-El kecil, yang datang dari keluarga tak berada.

Dengan latar belakang sederhana dan berasal dari keluarga yang kurang mampu, El Asamau dan kuasa hukumnya sedang menyampaikan perjuangannya melawan para penguasa yang diduga melakukan kecurangan pemilu. Perjuangan mereka memperlihatkan tekad dan keberanian yang luar biasa. Keberhasilan El Asamau dan kuasa hukumnya dalam gerakan ini akan menjadi simbol kemenangan rakyat kecil melawan ketidakadilan sistemik dan menjadi inspirasi bagi banyak orang di seluruh Indonesia, ketika MK mengabulkan permohonannya.

Pak El Asamau dan kuasa hukumnya telah dan akan terus memperjuangkan keadilan dalam berdemokrasi. Perjuangan El Asamau dan kuasa hukumnya membuka mata hati kita akan pentingnya keadilan dalam berdemokrasi, khusnya masyarakat kecil. Keadilan dari Mahkamah Konstitusi akan menjadi jawaban untuk semua masyarakat kecil yang mengharapkan adanya demokrasi berkeadilan. Adanya putusan MK yang menjawab mengapa ditipeks, tidak ditandatangani, tidak dibuatkan berita acara, bahkan tidak dibuat video/ dokumentasi terkait persoalan-persoaln itu, itu akan menjadi keadilan tersendiri untuk El Asamau bersama kuasa hukumnya serta para pendudkungnya. Semangat selalu pak El Asamau dan kuasa hukumnya!


*Gusti Omkang Hingmane, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

 

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post