Ujian Kehidupan

Di suatu pagi yang cerah, Arman duduk di teras rumahnya, merenungi makna hidup yang semakin hari semakin membingungkannya. Ia selalu percaya bahwa menolong orang adalah bentuk ibadah yang paling mulia. "Menolong orang sebenarnya adalah ibadah," pikirnya. Sejak kecil, ibunya selalu mengajarkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Kata-kata itu terpatri dalam benaknya.

Namun, pengalaman-pengalaman hidup membuatnya ragu. Setiap kali ia menolong seseorang, selalu ada saja yang meragukan ketulusannya. "Menurutku, lebih baik jangan menolong saja," bisik Arman pada dirinya sendiri, teringat berbagai peristiwa yang membuat hatinya terluka.

Suatu hari, Arman membantu seorang tetangganya yang sedang kesusahan. Tetangganya itu jatuh sakit dan butuh bantuan untuk membeli obat. Dengan penuh keikhlasan, Arman memberikan sedikit uang yang ia miliki. Namun, apa yang ia dapatkan bukanlah ucapan terima kasih, melainkan gosip yang menyebar bahwa Arman hanya ingin pamer dan mencari pujian.

Hati Arman hancur. "Apakah menolong dengan hati yang tulus dianggap tidak tulus?" tanyanya dalam hati, penuh dengan kebingungan. Mengapa niat baiknya selalu disalahartikan?

Pada suatu malam, ketika Arman sedang duduk merenung di bawah langit berbintang, ia menengadahkan wajahnya ke langit dan bertanya, "Apakah ini ujian, Tuhan?" Arman merasakan kesedihan yang mendalam. Ia merasa seakan-akan Tuhan sedang mengujinya melalui berbagai kesalahpahaman dan prasangka buruk dari orang-orang di sekitarnya.

Waktu berlalu, Arman mencoba untuk memahami pelajaran di balik ujian ini. Ia mulai menyadari bahwa menolong orang bukanlah tentang mendapatkan pengakuan atau pujian dari manusia. Menolong adalah tentang menjalankan perintah Tuhan dengan ikhlas, tanpa mengharapkan balasan. 

Suatu hari, ketika Arman sedang berjalan di taman, ia melihat seorang anak kecil menangis karena terjatuh. Tanpa berpikir panjang, Arman menghampiri anak itu dan membantunya bangkit. Anak kecil itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih dengan tulus. Momen itu mengingatkan Arman bahwa meskipun banyak orang yang meragukan ketulusannya, masih ada yang menerima kebaikannya dengan hati terbuka.

Akhirnya, Arman mengerti bahwa ujian yang ia hadapi adalah cara Tuhan mengajarkannya untuk lebih kuat dan sabar. Ia belajar untuk menolong tanpa mengharapkan pengakuan dari orang lain. "Menolong orang sebenarnya adalah ibadah, menurutku," gumam Arman dengan senyum di wajahnya. Ia menemukan kedamaian dalam keyakinan bahwa Tuhan selalu mengetahui niat baiknya, meskipun dunia tidak selalu memahaminya.

Dengan hati yang tenang, Arman melanjutkan hidupnya, tetap menolong orang lain dengan tulus. Ia yakin bahwa dalam setiap kebaikan yang ia lakukan, ada berkah yang tidak selalu terlihat oleh mata manusia, tetapi dirasakan oleh hati yang ikhlas.


Post a Comment (0)
Previous Post Next Post