Kotak Aspirasi dan Harapan*

Pagi itu, Senin, 23 September 2024, suasana kampus itu tetap ramai seperti biasa. Di sudut lorong kampus, sebuah kotak berwarna cokelat dengan hiasan tulisan hitam menarik perhatianku. "Kotak Aspirasi Mahasiswa," tulisannya terbaca jelas di permukaan dan samping kotak itu. Ditempatkan strategis di jalur keluar-masuk mahasiswa, kotak tersebut tampak sepi. Beberapa orang berhenti sejenak untuk membaca, tapi sebagian besar hanya berlalu, seolah tak memedulikannya.

Aku pun berpikir, “Untuk apa kotak seperti ini? Di era modern, bukankah kita sudah punya media online untuk menyalurkan ide dan pendapat? Apa benar kotak ini masih dibutuhkan?”

Di tengah keraguanku, seorang mahasiswa bernama Bagas terlihat memasukkan secarik kertas ke dalam kotak tersebut. Saat melangkah menjauh, ia menatap kotak itu dengan ekspresi bimbang. Dalam hati, Bagas bertanya-tanya, “Apakah aspirasi ini benar-benar akan didengar? Akankah disampaikan kepada pihak yang tepat?”

Bagas sempat ragu ketika menuliskan idenya tentang ruang diskusi terbuka bagi mahasiswa. Seperti banyak mahasiswa lainnya, ia sering merasa skeptis terhadap efektivitas kotak aspirasi. Namun, dorongan untuk melakukan sesuatu—meski kecil—mendorongnya untuk tetap mencoba.

Tak lama kemudian, seorang perempuan dengan rambut terikat rapi dan jaket organisasi mahasiswa mendekati Bagas. “Hey, kamu Bagas, kan?” tanyanya dengan senyum hangat.

“Iya, kenapa?” jawab Bagas heran.

“Aku Rina, dari BEM. Aku suka idemu tentang ruang diskusi terbuka. Kami kebetulan sedang mengerjakan proyek serupa yang akan diluncurkan bulan depan, dan masukan seperti ini sangat membantu kami.”

Mata Bagas membelalak. “Serius? Jadi kotak itu benar-benar dibaca?”

Rina tertawa kecil. “Tentu saja! Kotak aspirasi itu bukan cuma formalitas. Kami di BEM benar-benar ingin melibatkan lebih banyak mahasiswa. Semua ide yang masuk akan disaring, dibahas, dan disampaikan ke pihak universitas.”

Seketika, rasa skeptis Bagas mulai mencair. “Jadi… aspirasi kita bisa berpengaruh?”

Rina mengangguk mantap. “Semua ini tentang keberanian menyuarakan pendapat. Siapa yang tahu, mungkin ide kecil bisa jadi perubahan besar. Jadi, jangan ragu untuk menulis lagi kalau ada ide lain, oke?”

Saat Rina melangkah pergi, Bagas masih berdiri di tempatnya, memikirkan kata-kata perempuan itu. Apa yang awalnya ia anggap sepele ternyata bisa saja menjadi jalan bagi sesuatu yang lebih besar. Mungkin, dengan kotak kecil itu, kampusnya bisa menjadi tempat yang lebih baik bagi mereka yang mau bersuara.

Tiba-tiba, sebuah pikiran melintas di kepala Bagas: Bagaimana jika kotak aspirasi seperti ini tidak hanya ada di kampus? Bayangkan jika setiap lembaga—dari sekolah, kantor pemerintahan, hingga rumah sakit—memiliki kotak-kotak aspirasi serupa. Setiap orang bisa dengan mudah menyampaikan gagasan, keluhan, dan solusi mereka, langsung ke institusi yang bersangkutan. Dalam imajinasinya, Bagas melihat sebuah dunia di mana komunikasi antara rakyat dan pemimpin menjadi lebih terbuka, lebih demokratis.

Di sekolah-sekolah, kotak aspirasi bisa membantu siswa menyampaikan ide-ide tentang kegiatan belajar, kesejahteraan mereka, atau bahkan mengusulkan program baru. Di kantor pemerintahan, warga bisa memberikan masukan mengenai pelayanan publik dan kebijakan yang mereka rasakan kurang tepat. Di rumah sakit, pasien dan keluarga bisa menyampaikan saran tentang perbaikan layanan kesehatan dengan cara yang mudah dan anonim.

Dengan adanya banyak kotak aspirasi di berbagai lembaga, perubahan nyata pun mulai terlihat. Di kampus-kampus, lebih banyak ruang diskusi terbuka mulai dibangun, fasilitas-fasilitas diperbaiki sesuai kebutuhan mahasiswa, dan kegiatan-kegiatan baru muncul dari ide-ide kreatif yang sebelumnya tidak terdengar. Di instansi pemerintahan, pelayanan publik semakin baik karena masukan langsung dari masyarakat. Rumah sakit menjadi lebih ramah dan efisien, berkat saran-saran yang masuk dari pasien dan keluarganya.

Bagas tersenyum membayangkan dunia yang lebih baik ini. Sebuah dunia di mana setiap orang punya kesempatan untuk berbicara, dan setiap suara didengar. Mungkin memang kotak kecil itu tidak sekadar kotak-ia bisa menjadi awal dari sebuah perubahan besar.

Dan kini, Bagas tahu bahwa dengan berkontribusi, ia sedang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang bisa membawa kemajuan nyata di berbagai tempat, hanya dengan berani menyuarakan ide.


*By Gusti Omkang Hingmane


Post a Comment (0)
Previous Post Next Post