Gusti O. Hingmane,S.Pd.,Gr
(sudah dipublikasikan di Timor Express, Sabtu, 12
Desember 2009)
Banyak kalangan
pesimis bahwa dialog tidak akan mencapai titik temu apabila ide bersebrangan, apalagi
berdialog tentang agama yang menghadirkan berbagai agama hal ini bisa-bisa
malah menimbulkan perpecahan yang lebih berat lagi. Bahkan mereka masih pesimis
masalah intern agama saja belum terselesaikan apalagi memikirkan dialog antar
agama? Yang mungkin secara otomatis akan membentur definisi agama yang
sebenarnya melekat pada agama itu sendiri (no war), bahkan bisa-bisa meluluhlantakan
kesatuan suatu negara seperti Indonesai yang sangat kaya dengan keragamannya.
Berangkat dari realitas keragaman agama
(termasuk juga budaya, dan bahasa) yang ada di dunia, menuntut orang harus
berdialog sebagai solusi agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Hal tersebut diyakini selalu tumbuh dan memberikan
makna hidup serta kontribusi bagi pembangunan peradaban dunia. Apalagi sekarang
bermunculan tokoh-tokoh besar yang aktif memberikan arahan menghadapi masa
depan dunia. Menurut mereka, dunia selalu menyimpan potensi konflik dan tragedi
yang mengerikan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Hans Kung bahwa tiada
koeksistensi manusia tanpa ada etika bersama antarnegara. Tidak ada perdamaian
di antarbangsa tanpa ada kedamaian antaragama. Tidak ada perdamain antaragama
tanpa adanya dialog antaragama. Dari pernyataan ini dapat ditarik benang merah
bahwa dialog dari berbagai kalangan khususnya antaragama harus disambut baik
dan segerah diwujudkan karena urgensinya jelas, yakni untuk menciptakan
hubungan antar sesama manusia, khususnya umat beragama agar lebih harmonis di
dunia ini. Semua agama sebetulnya menginginkan hal yang sama: perdamaian,
keadilan, persaudaraan, persamaan derajat, pemuliaan martabat manusia,
kemerdekaan, dan sebagainya.
Dialog
harus mesti sudah beranjak agar bisa menciptakan suasana”saling berbagi” apalagi agama. Dengan kata lain, diperlukan
keterbukaan dan kesediaan mendengar ajaran agama lain, sehingga dapat memperkaya
dan memperdalam penghayatan agama sendiri.
Namun,
terdapat beberapa kendala yang menghambat dialog antaragama yang perlu ditanggapi
secara serius oleh aktivis dialog demi terlaksananya tujuan yang diidealkan,
kandala-kandala tersebut seperti yang disodorkan oleh Kompas, 05-08-2000: 4,
yakni: pertama, adalah bahwa wacana
mengenai dialog hampir secara merata berlangsung di tingkat elite terpelajar,
sehingga lapisan awam yang lebih besar jumlahnya tidak mendapatkan akses yang
cukup kepada wacana itu. Kedua,
adalah bahwa sebagian besar aktivis yang terlibat dalam kegiatan dialog
antaragama kurang begitu "agresif" memperjuangkan isu ini. Dibanding
dengan sejumlah aktivis lain yang berjuang untuk isu HAM, lingkungan,
perempuan, pendidikan sipil (civil education), dan lain-lain. Para
aktivis dialog antaragama kurang agresif
dalam mengampanyekan isu tersebut. Ketiga,
adalah kenyataan bahwa sosialisasi ajaran agama di tingkat akar rumput lebih
banyak dikuasai oleh para juru dakwah yang kurang paham atau menyadari
pentingnya isu dialog antaragama. Jalur distribusi ajaran agama di tingkat
"eceran" lebih banyak dikuasai oleh jaringan dakwah dan misi yang mempunyai
pandangan agama yang konservatif. Sementara kaum terdidik yang seringkali
terlibat dalam wacana dialog antaragama tidak mempunyai basis sosial yang cukup
untuk membangun semacam jaringan distribusi ajaran agama alternatif yang
menandingi jalur "eceran" yang sudah begitu mengakar itu. Keempat, adalah kurangnya sarana-sarana
kelembagaan yang menunjang dialog. Ini adalah kelemahan serius yang saya kira
tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Karena dialog lebih banyak dibangun
melalui seremoni dan tindakan-tindakan intelektual yang bersifat diskursif,
maka dialog itu sulit menjangkau ke masyarakat bawah. Saya kira sulit suatu
dialog menjadi wacana yang menjangkau masyarakat luas jika "infrastruktur
dialog" tidak tersedia. Infrastruktur pokok yang harus tersedia adalah
yang berkenaan dengan penyelesaian suatu konflik. Kelima, adanya sejumlah prasangka tertentu yang berkembang di
antara sejumlah aktivis yang selama ini bekerja untuk dialog antaragama. Maksud saya adalah, bahwa orang-orang yang
mengaku "pluralis" (yakni orang yang setuju dengan adanya dialog
antaragama) kadang-kadang juga mempunyai prasangka buruk mengenai
kelompok-kelompok konservatif, sehingga dialog antara mereka sulit berlangsung.
Hal yang sebaliknya juga terjadi. Masing-masing kelompok menganggap bahwa
kelompok lain menganut suatu pemahaman agama yang "sesat" dan "tidak
tepat", sehingga tidak layak untuk diajak berbicara. Keenam, adanya pluralisme tidak saja
terjadi dalam konteks antaragama, tetapi juga dalam agama yang sama juga
terjadi perbedaan-perbedaan yang tajam. Seringkali, pertikaian dalam agama yang
sama ini menjadi kendala dalam membangun dialog antaragama. Oleh karena itu,
dialog antargolongan dalam agama yang sama tak kalah pentingnya dengan dialog
antaragama. Dengan kata lain, dialog internal akan menjadi sarana yang
memudahkan dialog eksternal, dan bukan sebaliknya. Kadang-kadang dialog antara
golongan dalam agama yang sama jauh lebih sulit dan menyakitkan ketimbang
dialog dengan kelompok di luar agama sendiri.
Hal yang terpenting sebelum melakukan
dialog antaragama adalah pelakunya harus bisa menemukan dulu satu kesamaan yang
jelas dan diakui semua agama. Sedangkan kesamaan yang telah ada adalah
pengakuan dari semua agama yang mengajarkan tentang mengabdi kepada Tuhan Sang
Pencipta dan Pemilik kehidupan jagad raya. Paradigma inilah yang seharusnya
menjadi pijakan bersama untuk melakukan dialog teologis dan sebuah kerjasama
kemanusiaan karena teologi adalah wilayah persoalan Tuhan, sehingga tentunya
teologia tetap bisa disampaikan dengan dialog. Demikian juga, perbedaan di
bidang sosial kemasyarakatan dan politik antar kelompok umat beragama lebih
muda dijelaskan dan ditentukan kesepakatan karena didalamnya terdapat perbedaan
prinsip umat yang sifatnya universal, yang melampaui batas-batas agama. Tetapi
persoalan yang selalu saja krusial menyangkut teologi dan dogma yang berpusat
pada konsep keselamatan sulit mendapat titi temu. Akibatnya perdebatan teologi
sering di atasi dengan cara pandang lain yaitu memasuki polemik antar umat di
seputar pewahyuan dan alkitab masing-masing ( Noorsena, 2001: 157).
Oleh
karena itu, dalam berdialog antaragama perlu didepankan soal motivasi, karena
motivasi adalah daya batin yang mendasari tindakan seseorang mengapa ia harus
hidup rukun dengan sesama manusia lebih-lebih dengan tidak seagama. Jika syarat
tersebut telah dipenuhi maka jalan menuju dialog antaragama mulai ada titik
terang. Di samping itu pula mentalitas kita sendiri juga harus mendukung ke
arah itu. Dan lebih penting lagi dialog harus ditradisikan lebih dahulu
ditingkat lingkungan internal umat beragama sendiri agar lebih terbuka dan
cerdas.
Semestinya
iman bisa dijadikan aset bagi upaya bersama membangun masa depan bangsa. Namun,
jika saat yang ada itu tidak menimbulkan sinergi, tetapi anergi, maka pantasalah
kita mempertanyakan adakah kita yang salah atau pluralisme agama itu memang
sulit dipertemukan. Kalau benar itu sulit, berarti agama merupakan urusan
pribadi yang tidak dapat dilibatkan dalam kehidupan modern yang ditandai dengan
pluralisme dan demokrasi, begitukah?