(Sudah dipublikasikan di Timor
Express, Rabu, 28 April 2010 & Media Informasi dan Komunikasi Undana,
no.136/Februari 2010)
(Oleh: Gusti Omkang Hingmane, S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, Undana)
Ketika tahun ajaran berjalan universitas berubah menjadi
pasar buku pelajaran atau modul. Setiap tahun buku atau modul bisa
berganti-ganti dengan hanya bergantikan kovernya. Buku atau modul tersebut
tidak bisa diestafetkan kepada adik kelasnya atau semester berikutnya. Dalam
tataran itu, buku atau modul akhirnya menjadi objek produksi atau objek jual
yang fundamental, pasalnya melalui buku atau modul inilah masa depan dosen, mahasiswa/mahasiswi,
penjual dan penerbit buku atau modul ikut ditentukan. Kualitas dan identitas universitas
(dosen, dan mahasiswa/mahasiswi) sebagai universitas yang bermutu akan bisa
diperoleh jika buku atau modul yang digunakan pun memenuhi standar mutu buku
atau modul. Selama ini, beberapa dosen, tindakan mereka sedikit yang terjerumus
dalam praktik bisnis buku pelajaran atau modul kuliah, yang menempatkan dan
memperlakukan mahasiswa/mahasiswi sebagai objek atau “keranjang sampah” yang
wajib mengikuti segala keinginannya, terutama dalam penggunaan buku atau modul
kuliah.
Dosen menggunakan otoritasnya
untuk membuat mahasiswa/mahasiswinya takluk mengikuti kemauan bebasnya, tidak
ada kata tawar atau kompromi yang diberikan kepada mahasiswa/mahasiswinya. Para
pelajar di perguruan tinggi dianggap sebagai mesin yang layak dan sah mengikuti
titah yang disampaikan. Jika mereka tidak mengikuti kemauan para dosen tersebut,
namanya dimerahkan dalam daftar hadir bahkan direkam oleh dosen tersebut selama
semester itu berlangsung. Hal ini kemudian berdampak pada kehidupan mereka yang
bisa-bisa mendapat gelar MA (MahaSiswa Abadi). Otoritas yang dimiliki oleh dosen
seharusnya tidak dijadikan sebagai pembenaran untuk melakukan praktek anomali
dan malversasi atas nama Kurikulum misalnya, seperti menunjukkan buku pelajaran
atau modul tertentu yang diterbitkan oleh penerbit rekanannya, yang harganya
mencekik dan keuntungannya kembali pada dirinya berlipat ganda, karena cara
demikian terbukti seringkali menghilangkan nilai-nilai objektifitas berbasis
standar mutu dari produk buku atau modul tersebut. Dalam pada itu, hal yang
sangat tidak rasional adalah tidak diperkenankan para pelajar untuk mengkopi
modul yang sama yang dimiliki dosen tersebut, tetapi para dosen tersebut
mengharuskan para pelajar untuk membelinya.
Banyak kita temukan misalnya,
sejumlah buku pelajaran atau modul yang hanya berganti kover atau kertasnya
saja, sementara substansinya masih produk sistem lama, belum direvisi atau jauh
dari standar idealisme kurikulum. Buku ini layak digolongkan sebagai produk
yang sebatas mengejar target pasar, sementara dimensi fundamentalnya yang
berorientasi pencerahan intelektualitas pelajar diabaikan.
Buku atau modul produk
demikian itu layak digolongkan sebagai bentuk pembodohan terhadap mahasiswa/mahasiswi,
karena para pelajar sebatas diperlakukan menjadi kekuatan pasar yang tidak
punya hak untuk memperoleh pendidikan berkualitas atau dijauhkan dari sumber
informasi yang mendukung pengembangan keilmuan. Kalau pendidikan sudah
kehilangan basis sejati dan sucinya ini, maka pendidikan yang terselenggara
hanya meneruskan dan memapankan doktrin-doktrin ketidakbenaran, ketidakjujuran,
dan kemunafikan. Ironisnya, buku-buku atau modul produk asal pakai itu dijadikan literatur wajib oleh para dosen yang
menjalin kosesi dengan pihak penerbit yang menjanjikan imbalan besar.
Keuntungan besar diperoleh dengan cara memberikan lisensi secara monopolistik
dari penerbit yang mampu membutakan kecerdasan moral intelektualnya, sehingga
buku-buku atau modul lain yang dijual bebas, yang justru memenuhi standar mutu
diabaikan atau dijauhkan dari posisi sebagai “opsi” bagi mahasiwa/mahasiswi.
Di samping itu pula, mekanisme pasar juga mendominasi
irama perguruan tinggi sepanjang tahun ajaran berlangsung. Pada proses
penerimaan mahasiswa/mahassiwi baru, budaya titip, prioritas anak pejabat,
surat sakti, atau main uang, adalah bentuk jual beli layaknya pasar. Hal-hal
tersebut sungguh sangat disayangkan karena selama ini terjadi di sekolah yang
tertinggi (Perguruan Tinggi), yang sebenarnya menjadi contoh bagi Sekolah
Dasar(SD), Sekolah Menengah Pertama, dan sekolah Menengah Atas atau
sederajatnya.
Di dalam lembaga perguruan tinggi ini, benih-benih
menjadi penjual telah diajarkan. Sebagai contoh, ada tulisan dari salah satu teman
mahasiswa saya yang menulis pengumuman yang berisikan “bagi teman-teman yang belum
membayar modul (dari matakuliah tersebut) diharapkan segera membayarnya karena
ini masalah nilai bro!” Dari pernyataan ini, mahasiswa/mahasiswi memang sudah
diajarkan sebagai pedagang. Hal ini ditulis oleh teman saya karena dipengaruhi
oleh tekanan dari dosen, dengan persepsi takut tidak lulus. Pertanyaannya,
apakah benar kelulusan atau ketidaklulusan dari suatu mata kuliah itu
ditentukan oleh modul yang dibeli dengan harga melangit? Jawaban lulus atau
tidaknya ada pada anda para pembaca. Tetapi, secara pasti bahwa ada pasar
politik di dalam universitas ini.
Darmaningtyas
berpendapat bahwa kebiasaan menjadikan sekolah sebagai ladang mencari
keuntungan lewat kain seragam, alat tulis, biro wisata atau lembaga kursus atau
lebih parah lagi buku pelajaran, yang pada akhirnya membebani masyarakat dengan
berbagai punggutan, saatnya harus ditinggalkan. Mekanisme demikian mempunyai kontribusi yang sangat besar
terhadap proses pemiskinan masyarakat yang sudah miskin. Kampus harus sudah
saatnya dibebaskan dari suasana bisnis yang dilakukan oleh siapapun terlebih
oleh birokrat Diknas, kepala sekolah, atau guru atau dosen, dengan dalih
apapun.
”Fungsi
pejabat Diknas, kepala sekolah, atau guru atau dosen adalah mendidik, bukan
sebagai pedagang, calo, makelar, balantik, atau retenir bagi berbagai produk
industri. Pencampuradukan peran-peran pendidik dengan calo tersebut akan
merusak sistem pendidikan nasional dan tidak lagi terbedakan sekolah sebagai
tempat mencari ilmu pengetahuan dengan pasar sebagai tempat jual-beli, dan
kebiasaan ini bisa termasuk jual-beli gelar”
(Kompas, Kamis, 2 Mei 2002). F. Maulidiyah (2005) juga bernada sinis terhadap situasi itu, ”Sekolah bukan
untuk melahirkan perbudakan, sekolah bukan alat untuk menyingkirkan yang tak
berpunya, sekolah bukan tempat membangun berjouisme, sekolah bukan meghalalkan
sistem totaliter, sekolah bukan mesin pembunuh bibit-bibit demokrasi, dan
sekolah bukan wadah membentuk dan menyebarkan penyakit onani moral”
Sebagai harapan penulis, sederetan masalah di atas dapat
dijadikan bahan refleksi kita bersama, dan lebih khususnya para guru atau
dosen. Penulis mau kita merubah tabiat kita sebagai guru atau dosen yang sering
dipesimiskan bahkan dibenci oleh berbagai pihak khususnya pelajar yang
ekonominya di bawah, karena sudah miskin tambah dituntut harus membeli
modulnya, laksana tergantung diakar lapuk ditambah berton-ton massa. Sekarang
tiba saatnya kita tinggalkan title sebagai
“pedagang, calo, makelar, balantik, atau retenir” karena guru atau dosen bukan seperti itu.
Semoga masalah
yang dihadapi oleh mahasiswa/mahasiswi ini dapat membuka mata para petinggi universitas
dan mau menaikkan gaji untuk para pendidik kita yang kerjaannya jual modul melulu
setiap semesternya. Karena tanpa hal ini, mereka akan selalu menjadi pedagang
bukan pendidik yang kerjaan berdagang melulu. Para petinggi juga diharapkan mau
berpacaran (berpartner bicara) dengan
mahasiswa/mahasiswi untuk bantu bekerjasama dalam mendata para “pedagang
intelektual” agar segerah dinaikkan gaji mereka. Kasihan dong sama mahasiswa. Merdeka!