(Oleh: Gusti Omkang Hingmane,S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa
Inggris, Undana)
Pendidikan adalah proses
mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dan usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Begitulah pengertian pendidikan yang digubris oleh Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Pada kamus bahasa Inggris pun memuntahkan definisinya “Education
is a process of teaching, training and learning especially in school or
college, to improve knowledge and develop skill”.
Pendidikan dalam apapun keberadaan dan definisinya
memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan peradaban manusia.
Pendidikan memampukan manusia keluar dari masalah-masalah keterbelakangan untuk
melangkah lebih jauh dalam membangun peradaban manusia. Pendidikan memungkinkan
manusia untuk secara kritis memaknai realitas sekitar untuk kemajuannya.
Seperti yang dilontarkan oleh Herkleitos bahwa “education is the second sun to its possesors”, artinya pendidikan
adalah matahari kedua bagi pemiliknya. Sebagai matahari, pendidikan
memungkinkan manusia keluar dari situasi kegelapan bernamakan kebodohan.
Realita pendidikan di tanah air terlihat miris sebagai
imbas berbagai permasalahan kompleks pendidikan. Dengan rekor kualitas yang
tidak terlalu menegesankan baik dalam skala regional maupun international,
pendidikan Indonesia
perlu mengkritisi diri. Berbagai kegagalan dalam pendidikan seperti ketidak
lulusan sampai pada mandulnya para lulusan dalam masyarakat menjadi indikasi
nyata kegagalan pendidikan Indonesia .
Pendidikan belum cukup berhasil menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan
dan tanggungjawab indidvidu dan sosial dalam dirinya.
Suatu kelas yang penuh
disiplin biasanya menjadi contoh dari keberhasilan suatu proses pendidikan. Keberhasilan semua proses
akan berjalan dengan lancar sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang dibuat oleh
lembaga pendidikan itu sendiri. Baik guru maupun peserta didik mengikuti
berbagai peraturan yang telah dirumuskan, mempelajari bahan pelajaran menurut
buku teks yang tersedia, melaksanakan ujian-ujian dan penilaian akhir dari
kelas-kelas atau jenjang pendidikan yang telah ditentukan. Demikianlah
seseorang peserta didik melaju dari kelas ke kelas selanjutnya, dari tingkatan
pendidikan sampai jenjang pendidikan tinggi. Inilah yang kita anggap sebagai
suasana belajar yang ideal dari lembaga pendidikan yang ideal.
Hal yang sangat disayangkan dalam suasana belajar yang
idealnya ini adalah proses domestifikasi, yaitu membunuh kreativitas dan
menjadikan manusia atau peserta didik sebagai robot-robot yang sekedar menerima
transmisi nilai-nilai kebudayaan yang ada. Sebagaiman dalam halnya dengan
penjinakkan binatang-binatang yang semula merupakan binatang liar menjadi
binatang-binatang yang tunduk pada perintah tuannya, demikianlah praksis
pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat untuk menjinakkan
pribadi-pribadi agar patuh kepada kemauan tuannya. Proses pendidikan menjadi
proses domestifikasi anak manusia. Hasilnya ialah bukan pembebasan tetapi
pembodohan (stupidifikasi).
Proses domestifikasi dalam pendidikan, kita lihat juga
dalam perlakuan yang salah mengenai ijazah atau pemujaan ijazah (Har Tilaar, 2003).
Di sini berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan ijazah pujaannya, dan untuk
menggapainya dilakukan dengan illegal maupun legal dengan tujuan memperbaiki
tangga sosial tanpa harus mengetahui tingkat kualitas kelulusan yang didapat
saat berpartisipasi pada proses pembelajaran.
Proses penggelengan kepala juga ada di lembaga-lembaga
pendidikan formal dapat terlihat di dalam evaluasi pendidikan, sebagai contoh
tes objektif. Tes ini merupakan suatu proses domestifikasi karena tidak
mengajak manusia berpikir tetapi menjadi manusia yang menghadapi teka-teki
silang saja. Tes objektif ini juga tidak mengembangkan kemampuan rasional dan
hanya melumpuhkan kemampuam berpikir manusia.
John Dewey mengatakan dalam pendidikan demokrasi bahwa yang
dihasilkan oleh pendidikan demokrasi bukanlah produk dalam bentuk barang tetapi
produk dalam bentuk manusia yang bebas. Inilah inti dari pendidikan demokrasi,
yaitu seorang yang menghadapai masalah hidup yang penuh problematik dengan alternatif-alternatif
yang dikembangkan oleh kemampuan akal budinya untuk mencari solusi yang
terbaik. Sama juga yang dikatakan oleh Chomsky bahwa manusia yang terdidik
adalah manusia yang bebas tetapi yang disertai dengan kesempatan-kesempatan
untuk memilih.
Pendidikan demokrsai bukan hanya merupakan suatu prinsip
tetapi suatu pengembangan tingkah laku yang membebasakan manusia dari berbagai
jenis kekukungan.Apa yang terjadi dalam banyak sistem pendidikan, seperti suatu
sistem yang namanya saja yang sistem tetapi tidak menyuguhkan kesempatan-
kesempatan bagi perkembangan bebas yang merupakan ciri demokrasi.
Pendidikan yang membelenggu ditandai dengan adanya
manipulasi kedudukan pendidik dan peserta didik dimana siswa di tempatkan
sebagai objek pasif yang mesti membeo apa yang dikatakan oleh para pendidik.
Peserta didik adalah realita kekosongan yang mesti diisi. Peserta didik adalah
sebuah kertas putih kosong yang perlu dijejali dengan sekian banyak informasi
dan pengetahuan yang dipunyai oleh para pendidik. Maka apa yang terjadi dalam
proses pendidikan sebenarnya adalah suatu proses mentransmisikan ilmu
pengetahuan secara paksa. Tidak ada kebebasan yang cukup bagi pelajar untuk
secara kritis membahasakan pikirannya agar menjadi kreatif dan inovatif dalam
diri mereka. Pelajar hanya diarahkan hanya untuk menelan apa yang dikatakan
oleh para pendidik.
Sebenarnya yang harus dilakukan saat sekarang oleh
pendidikan khusnya para guru adalah dialog, dan hadapi masalah (Poulo
Freire). Dalam pada itu, dialog itu diandaikan sebagai komunikasi intens antara
pendidik dan peserta didik, yang akan memampukan peserta didik bersikap kritis.
Peserta didik mampu memaksimalkan potensi dirinya. Dalam hubungan dialog ini
tidak ada tempat untuk seorang pedidik yang represif, egoistic dan otoriter
(bukan subjek dengan objek, tetapi subjek dengan subjek).Yang ada hanyalah
diskusi yang menyenangkan.
Bagian kedua, Freire juga menawarkan pendidikan untuk
dapat terapkan menghadap masalah (problem posing) bagi peserta didik.
Pendidikan ini menuntut kemampuaan siswa untuk memahami dan menafsir realitas
secara kritis. Peserta didik harus dilatih memecahkan masalah sehingga ia tidak
akan kaku ketika menemukan masalah di luar. Hal senada juga diutarakan oleh Jos
Bire (dosen Undana) bahwa guru harus memberikan umpan, bukan ikan kepada
peserta didik. Karena dengan cara ini memampukan peserta didik untuk berpikir
kritis, kreatif, dan inovatif terhadap masalah yang dihadapi.
Sistem pendidikan yang otoriter yang tidak
menggembangkan cara-cara hidup demokrasi tidak mungkin akan tumbuh suatu
masyarakat yang demokrasi. Oleh karena itu, dalam upaya kita membangun
masyarakat Indonesia Baru yang terbuka dan demokratis maka upaya yang penting
ialah membenahi sistem pendidikan agar menjadi sarana tumbuhnya cara hidup
demokrasi. Artinya, penyelengaraan, manajemen, proses belajar-mengajar semuanya
di dasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi. Seperti kata Amartya Kumar Sen
bahwa pendidikan dasar sangat besar peranannya di dalam menumbuhkan demokrasi
dan penanggulangan kemiskinan. Mudah-mudahan tulisan ini ada manfaatnya bagi
anda para guru yang selalu mengharapkan mutu lulusan ini, agar dapat berinovasi
dalam proses belajar dan mengajar. Apalagi, di era sekarang ini dituntut adanya
orang-orang yang kreatif dan memiliki kompetensi agar mampu bersaing di era
globalisasi ini. Kasihan dong anak-anak negeri ini yang hanya siap disuapin,
apa jadinya mereka nanti? Itu
pertanyaan untuk kita bersama, mari kita renungkan dan buat perubahan. Merdeka!