Pendidikan Sekarang dan Masa Depan Peserta Didik

(Sudah dipublikasikan di Timor Express, Jumat, 4 Desember 2009 & Media Informasi dan Komunikasi Undana, no.134/Desember 2009)

(Oleh: Gusti Omkang Hingmane,S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, Undana)

Pendidikan adalah proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dan usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Begitulah pengertian pendidikan yang digubris oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pada kamus bahasa Inggris pun memuntahkan definisinya “Education is a process of teaching, training and learning especially in school or college, to improve knowledge and develop skill”.
Pendidikan dalam apapun keberadaan dan definisinya memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan peradaban manusia. Pendidikan memampukan manusia keluar dari masalah-masalah keterbelakangan untuk melangkah lebih jauh dalam membangun peradaban manusia. Pendidikan memungkinkan manusia untuk secara kritis memaknai realitas sekitar untuk kemajuannya. Seperti yang dilontarkan oleh Herkleitos bahwa “education is the second sun to its possesors”, artinya pendidikan adalah matahari kedua bagi pemiliknya. Sebagai matahari, pendidikan memungkinkan manusia keluar dari situasi kegelapan bernamakan kebodohan.
Realita pendidikan di tanah air terlihat miris sebagai imbas berbagai permasalahan kompleks pendidikan. Dengan rekor kualitas yang tidak terlalu menegesankan baik dalam skala regional maupun international, pendidikan Indonesia perlu mengkritisi diri. Berbagai kegagalan dalam pendidikan seperti ketidak lulusan sampai pada mandulnya para lulusan dalam masyarakat menjadi indikasi nyata kegagalan pendidikan Indonesia. Pendidikan belum cukup berhasil menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan dan tanggungjawab indidvidu dan sosial dalam dirinya.
Suatu kelas yang penuh disiplin biasanya menjadi contoh dari keberhasilan suatu proses pendidikan. Keberhasilan   semua proses akan berjalan dengan lancar sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang dibuat oleh lembaga pendidikan itu sendiri. Baik guru maupun peserta didik mengikuti berbagai peraturan yang telah dirumuskan, mempelajari bahan pelajaran menurut buku teks yang tersedia, melaksanakan ujian-ujian dan penilaian akhir dari kelas-kelas atau jenjang pendidikan yang telah ditentukan. Demikianlah seseorang peserta didik melaju dari kelas ke kelas selanjutnya, dari tingkatan pendidikan sampai jenjang pendidikan tinggi. Inilah yang kita anggap sebagai suasana belajar yang ideal dari lembaga pendidikan yang ideal.
Hal yang sangat disayangkan dalam suasana belajar yang idealnya ini adalah proses domestifikasi, yaitu membunuh kreativitas dan menjadikan manusia atau peserta didik sebagai robot-robot yang sekedar menerima transmisi nilai-nilai kebudayaan yang ada. Sebagaiman dalam halnya dengan penjinakkan binatang-binatang yang semula merupakan binatang liar menjadi binatang-binatang yang tunduk pada perintah tuannya, demikianlah praksis pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat untuk menjinakkan pribadi-pribadi agar patuh kepada kemauan tuannya. Proses pendidikan menjadi proses domestifikasi anak manusia. Hasilnya ialah bukan pembebasan tetapi pembodohan (stupidifikasi).
Proses domestifikasi dalam pendidikan, kita lihat juga dalam perlakuan yang salah mengenai ijazah atau pemujaan ijazah (Har Tilaar, 2003). Di sini berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan ijazah pujaannya, dan untuk menggapainya dilakukan dengan illegal maupun legal dengan tujuan memperbaiki tangga sosial tanpa harus mengetahui tingkat kualitas kelulusan yang didapat saat berpartisipasi pada proses pembelajaran.
Proses penggelengan kepala juga ada di lembaga-lembaga pendidikan formal dapat terlihat di dalam evaluasi pendidikan, sebagai contoh tes objektif. Tes ini merupakan suatu proses domestifikasi karena tidak mengajak manusia berpikir tetapi menjadi manusia yang menghadapi teka-teki silang saja. Tes objektif ini juga tidak mengembangkan kemampuan rasional dan hanya melumpuhkan kemampuam berpikir manusia.
John Dewey mengatakan dalam pendidikan demokrasi bahwa yang dihasilkan oleh pendidikan demokrasi bukanlah produk dalam bentuk barang tetapi produk dalam bentuk manusia yang bebas. Inilah inti dari pendidikan demokrasi, yaitu seorang yang menghadapai masalah hidup yang penuh problematik dengan alternatif-alternatif yang dikembangkan oleh kemampuan akal budinya untuk mencari solusi yang terbaik. Sama juga yang dikatakan oleh Chomsky bahwa manusia yang terdidik adalah manusia yang bebas tetapi yang disertai dengan kesempatan-kesempatan untuk memilih.
Pendidikan demokrsai bukan hanya merupakan suatu prinsip tetapi suatu pengembangan tingkah laku yang membebasakan manusia dari berbagai jenis kekukungan.Apa yang terjadi dalam banyak sistem pendidikan, seperti suatu sistem yang namanya saja yang sistem tetapi tidak menyuguhkan kesempatan- kesempatan bagi perkembangan bebas yang merupakan ciri demokrasi.
Pendidikan yang membelenggu ditandai dengan adanya manipulasi kedudukan pendidik dan peserta didik dimana siswa di tempatkan sebagai objek pasif yang mesti membeo apa yang dikatakan oleh para pendidik. Peserta didik adalah realita kekosongan yang mesti diisi. Peserta didik adalah sebuah kertas putih kosong yang perlu dijejali dengan sekian banyak informasi dan pengetahuan yang dipunyai oleh para pendidik. Maka apa yang terjadi dalam proses pendidikan sebenarnya adalah suatu proses mentransmisikan ilmu pengetahuan secara paksa. Tidak ada kebebasan yang cukup bagi pelajar untuk secara kritis membahasakan pikirannya agar menjadi kreatif dan inovatif dalam diri mereka. Pelajar hanya diarahkan hanya untuk menelan apa yang dikatakan oleh para pendidik.
Sebenarnya yang harus dilakukan saat sekarang oleh pendidikan khusnya para guru adalah dialog, dan hadapi masalah (Poulo Freire). Dalam pada itu, dialog itu diandaikan sebagai komunikasi intens antara pendidik dan peserta didik, yang akan memampukan peserta didik bersikap kritis. Peserta didik mampu memaksimalkan potensi dirinya. Dalam hubungan dialog ini tidak ada tempat untuk seorang pedidik yang represif, egoistic dan otoriter (bukan subjek dengan objek, tetapi subjek dengan subjek).Yang ada hanyalah diskusi yang menyenangkan.
Bagian kedua, Freire juga menawarkan pendidikan untuk dapat terapkan menghadap masalah (problem posing) bagi peserta didik. Pendidikan ini menuntut kemampuaan siswa untuk memahami dan menafsir realitas secara kritis. Peserta didik harus dilatih memecahkan masalah sehingga ia tidak akan kaku ketika menemukan masalah di luar. Hal senada juga diutarakan oleh Jos Bire (dosen Undana) bahwa guru harus memberikan umpan, bukan ikan kepada peserta didik. Karena dengan cara ini memampukan peserta didik untuk berpikir kritis, kreatif, dan inovatif terhadap masalah yang dihadapi.
Sistem pendidikan yang otoriter yang tidak menggembangkan cara-cara hidup demokrasi tidak mungkin akan tumbuh suatu masyarakat yang demokrasi. Oleh karena itu, dalam upaya kita membangun masyarakat Indonesia Baru yang terbuka dan demokratis maka upaya yang penting ialah membenahi sistem pendidikan agar menjadi sarana tumbuhnya cara hidup demokrasi. Artinya, penyelengaraan, manajemen, proses belajar-mengajar semuanya di dasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi. Seperti kata Amartya Kumar Sen bahwa pendidikan dasar sangat besar peranannya di dalam menumbuhkan demokrasi dan penanggulangan kemiskinan. Mudah-mudahan tulisan ini ada manfaatnya bagi anda para guru yang selalu mengharapkan mutu lulusan ini, agar dapat berinovasi dalam proses belajar dan mengajar. Apalagi, di era sekarang ini dituntut adanya orang-orang yang kreatif dan memiliki kompetensi agar mampu bersaing di era globalisasi ini. Kasihan dong anak-anak negeri ini yang hanya siap disuapin, apa jadinya mereka nanti? Itu pertanyaan untuk kita bersama, mari kita renungkan dan buat perubahan. Merdeka!
                                                   









Post a Comment (0)
Previous Post Next Post