“Pengenalan Kehidupan
Kampus Bagi Mahasiswa Baru (PKKBMB) Undana bukan bentuk perpeloncoan atau
penyiksaan fisik maupun psikis oleh mahasiswa senior kepada mahasiswa junior.
Tetapi, PKKBMB merupakan suatu bentuk orientasi atau pengenalan secara
baik dan mendalam terhadap dunia perguruan kepada mahasiswa baru agar mereka
dapat beradaptasi dengan cepat di dalam kehidupan akademik di lingkungan
Perguruan Tinggi….Siapa yang melanggar defenisi PKKBMB di atas maka akan
ditindak tegas menurut aturan disiplin akademik dan aturan hukum yang
berlaku”, kata rektor Undana, Prof. Frans Umbu Datta (Media Informasi dan
Kominikasi Undana, No.153, edisi Agustus 2011: 1 & 11).
Pernyataan seorang rektor Undana di
atas, dikarenakan budaya senioritas --identik dengan kekerasan-- dalam
ospek mungkin masih mengakar sampai sekarang, bahkan telah masuk ke dalam
dunia pendidikan. Ospek atau segala macam turunannya, baik yang terselubung
maupun yang tampak adalah tindakan yang tercela. Dari hal itu, saya
mempunyai beberapa argumentasi, mengapa ospek dikatakan tercela dan intinya
harus dihapus, karena, pertama, ospek hanya melestarikan budaya feodal
dengan mewajibkan para peserta untuk menghormati paksa senior dan menuruti
segala kehendak senior. Hanya terkesan memuaskan para senior yang ‘sok gila
kuasa’ dan menganggap rendah status mahasiswa baru tidak lebih
sebagai budaknya. Ok-lah, mungkin ini untuk meningkatkan kebersamaan antar
angkatan, akan tetapi, apakah perlu dipanggil setiap saat, oleh sang
senior, untuk disuruh melakukan sesuatu yang
biasanya, adalah, hal yang sangat bodoh, seperti: menyuruh
junior membeli rokok atau minuman beralkohol, menyanyi atau joget, menggosok
arang atau cat -pewarna yang sudah dicampurdengan berbagai bahan- di mukanya
mahasiswa baru, dan yang paling tidak masuk di
akal, adalah, kasus pengancaman kepada junior yang tidak mengikuti
ospek. Contohnya: para junior tidak diakui sebagai mahasiwa
pada jurusan atau program studi tertentu; tidak lulus ospek dengan tidak
diberikan sertifikat, dan lain-lain. Kedua, pelaksanaan ospek
selama ini, yang dimaksud menanamkan kedisiplinan dengan hukuman dan
bentakan hanyalah sebuah bentuk militerisasi dalam kampus. Ini adalah
bentuk “kemunafikan” mahasiswa yang katanya anti militerisme dalam
kampus, tetapi malah melestarikan militerisme dari waktu ke waktu. Ketiga,
penanaman nilai-nilai baru dalam waktu yang singkat, dan dalam tekanan
adalah sangat tidak efektif ditinjau dari faktor psikologi.
Mahasiswa yang tidak tidur ataupun lelah karena mengerjakan setumpuk
tugas, tidak memiliki kesiapan maksimal untuk menerima informasi
baru. Keempat, pembuatan aneka atribut yang aneh-aneh
merupakan suatu pemborosan uang dan waktu semata, tidak sebanding dengan
nilai-nilai yang ditanamkan dalam serangkaian aneka atribut tersebut. Kelima, Thorndike,
seorang ahli psikologi pembelajaran menyatakan bahwa, hukuman tidak
efektif untuk meniadakan suatu perilaku tertentu. Begitu halnya dengan hukuman
dan sanksi pada ospek, tidak akan efektif membuat seorang mahasiswa untuk
menghilangkan perilaku buruknya. Keenam, kekuasaaan sangat
dekat dengan kekerasan, maka tidak heran, jika panitia yang memiliki
wewenang, dan derajat lebih tinggi dari mahasiswa baru akan melakukan
kekerasan baik fisik maupun psikis kepada mahasiswa baru. Ketujuh,
tidak dapat dipungkiri, bahwa, terkadang ospek merupakan sarana
balas dendam bagi senior atas perlakuan kakak kelas yang mereka alami pada
waktu dulu. Rasa dendam akan selalu muncul dalam segala perlakuan yang
menyakitkan. Kedelapan, ospek memang terbukti mengakrabkan
para mahasiswa, namun proses keakraban pada mahasiswa akan terjadi dengan
sendirinya, ketika mahasiswa mulai beraktivitas dalam kampus, tanpa
perlu dipaksakan dalam suatu penderitaan. Kesembilan, setiap orang
memiliki kerentanan psikologis yang berbeda-beda, sehingga hukuman yang
serampangan ataupun perlakuan yang menekan mental pada ospek dapat menimbulkan
suatu trauma psikologis tersendiri bagi beberapa orang. Trauma
ini pada akhirnya akan menimbulkan abnormalitas kejiwaan seseorang. Kesepuluh, kenangan
dalam ospek hanya menciptakan romantisme tertentu, ketika diceritakan
beberapa waktu setelah ospek, namun tentunya setiap orang tidak ingin mengalami
ospek untuk beberapa kali lagi. Ini merupakan bukti bahwa setiap orang tidak
menginginkan ospek terjadi lagi dalam hidup mereka.
Memang benar, orientasi merupakan hal yang harus dimiliki oleh
setiap orang, agar proses perjalanan hidup mereka menjadi terarah. Namun,
orientasi itu seperti apa? Hal apa saja yang terkandung
di dalamnya? Saya mencoba menggambarkan
secara ringkas seperti ini. Orientasi di dalamnya
terdapat tiga point penting, satu, tahu apa yang harus
dilakukan, dua, adanya tujuan yang jelas, dan yang terakhir, target
yang ingin dicapai.
Tahu apa yang harus dilakukan, dimana pengertian yang terkandung
didalamnya, kita tahu tentang planing apa yang akan kita
kerjakan, rencana-rencana awal yang sudah dikonsepkan agar menjadi
motivasi tersendiri dan semakin terarah bagi individu masing-masing. Dimana
dari awal ini, kita melihat peluang yang akan terjadi, tantangan, serta apa
yang menjadi kekurangan dan kelebihan dari hal yang dikonsepkan (Joginder
Singh, 2005:26-28, dalam bukunya, Take Action).
Sebelum melaksanakan ospek, kita perlu mengetahui
makna dari ospek itu sendiri. Ya, istilahnya senior membantu mengarahkan
junior untuk dapat mengadaptasikan diri dan pola pikir yang baru dengan dunia
perkuliahan. Ospek membantu junior untuk dapat mengadaptasikan diri
dan pola pikir calon mahasiwa ke dalam pola pikir
mahasiswa yang sebenarnya.
Dalam benak saya (sebagai mantan junior) yang terlintas
mengenai ospek/pengkaderan adalah hal yang berkaitan dengan senioritas,
bentakan, tugas, kedisiplinan, tekanan mental, dan marah-marah.
Sepengetahuan saya, Pada dasarnya ospek mempunyai tujuan membentuk
mahasiswa yang berkarakter. Karakter seperti apa yang ingin ditanamkan pada
mahasiswa baru? Yaitu karakter disiplin, tegas, tahan banting, rasa saling
menghargai serta menghormati, dan kepedulian terhadap kawan seperjuangan.
Di sisi lain, orientasi juga berusaha mengenalkan “anak baru” kepada
lingkungan baru yang akan menjadi bagian hidup dan kesehariannya kelak.
Membantu beradaptasi, mengakrabkan dengan kawan seperjuangan, serta menjalin
suatu hubungan kekeluargaan antara senior sebagai orang lama dan junior sebagai
penduduk baru.
Saya, di sini, tidak mempermasalahkan keberadaan
ospek itu sendiri. Namun, saya merasa ada beberapa hal yang bisa
menyimpang dari tujuan orientasi ketika implementasi orientasi dilaksanakan.
Misalnya saja, senioritas. Apa itu senioritas? Sikap semena-mena senior
terhadap junior. Ketika, seorang senior menganggap dirinya patut dan wajib
dihormati sebagai “orang lama” yang konon katanya sudah mengecap asam garam
dunia. Bagi saya, senioritas adalah suatu bentuk keinginan seorang
senior untuk disegani dan dihormati. Namun, konteks hormat dan segan bisa
berbeda jika dibuat hubungan seperti ini; segan karena hormat, atau hormat
karena segan.
Dari perspektif saya, segan karena hormat adalah suatu kepantasan
dan keharusan junior terhadap senior. Atau istilah dalam masyarakat yang kita
kenal, yang tua menyayangi yang muda, dan yang muda menghormati serta
menyayangi yang tua. Jadi, sikap segan itu timbul karena rasa
hormat, serta keinginan untuk saling menghargai.
Lalu bagaimana dengan hormat karena segan? Lagi-lagi ini menurut
perspektif saya, hormat yang timbul karena segan adalah bentuk rasa “takut”
yang mengakibatkan reaksi hormat. Seperti pada hukum fisika,”dimana ada aksi,
disitu ada reaksi”. Jadi, hormat yang ini benar-benar bukan hormat dari dalam
hati, melainkan hormat karena takut. Kalau sudah begini bentuk hormat itu akan
lain.
Saya tidak sepenuhnya setuju jika orientasi dianggap mampu
membentuk karakter mahasiswa baru secara permanen. Saya contohkan sebuah fakta
dari hasil pengamatan sekilas saya; pada masa orientasi yang berlangsung
beberapa minggu. Mahasiswa baru dilarang memakai baju kaos
oblong sewaktu mengikuti perkuliahan. Waktu itu, ada salah
seorang senior yang berkata, ”kalian itu kalau kuliah jangan pakai baju
kaos. Kalian itu kan mahasiswa baru”. Padahal, yang bicara sendiri
mengenakan baju kaos. Rasanya saya pingin protes sambil
ketawa. Jangan-jangan cuma mahasiswa baru saja
yang tidak boleh pakai baju kaos? Terus kalau sudah senior
boleh? Entahlah, saya belum paham.
Tujuan diadakannya ospek, yaitu sebagai sistem pengenalan
kehidupan kampus. Tujuan mulia ini, kebanyakan digunakan
oleh sebagian oknum tertentu untuk memperkeruh citra ospek itu
sendiri. Mungkin yang terbenak pertama kali tentang ospek oleh mereka adalah
sistem perpoloncoan. Untuk mencegah tindakan yang dilakukan segelintaran oknum
tertentu, mungkin perlunya adanya tim pengawas independen dalam melaksanakan
ospek itu sendiri, agar tujuan dari ospek sebagai pengenalan akademik
itu tidak melenceng dari tujuan utamanya. Karena dalam benak
saya, jika ospek yang demikian terjadi terus, maka jangan heran, di
tahun-tahun kemudian universitas tersebut tidak ada pendaftar—calon mahasiswa
baru—yang mau mendaftar. Universitas tidak akan ada penghuninya.
Memang, hal ini tidak terjadi di semua kampus atau di
semua fakultas atau di semua jurusan, tetapi fenomena seperti ini, ada.
Apakah hal ini yang kita harapkan dari mahasiswa-mahasiswa kita yang notabene
adalah penerus bangsa? Kegiatan-kegiatan ospek yang tidak jelas manajemennya
itu adalah perbuatan membodohi orang lain dan juga diri sendiri. Bagaimana
tidak, katanya menentang sesuatu, tapi malah dilaksanakan. Dan, inilah
yang menurut Prof Umbu Datta, rektor Undana, perlu ditindak tegas menurut
aturan disiplin akademik dan aturan hukum yang berlaku.
Akhir dari tulisan ini, saya mengutip kata bijak seorang
berkebangsaan China sebagai bahan refleksi, bagaimana ospek yang seharusnya. “Give
a man a fish. And, you will feed him for a meal. But, teach
a man how to fish. And, you will feed him for life”.
Artinya, "berikan pada seseorang seekor
ikan, maka, kamu memberi dia hanya sekali
makan. Tetapi, ajarilah seseorang untuk
memancing, maka, kamu telah memberi dia makan seumur hidupnya".
Rekor Undana, Prof. Frans Umbu Datta (periode 2005-2009: 175, dalam bukunya,
Teruslah Berubah) pun berargumen seperti berikut:
“Kehidupan kampus adalah
suatu bentuk kehidupan di perguruan tinggi yang akan menentukan peradaban
manusia. Karena itu, PKKBMB bukan perpeloncoan, karena perpeloncoan adalah
suatu ciri khas kurang beradabnya manusia. Peradaban yang tinggi itu dicirikan
dengan semuanya dikerjakan mengikuti hati nurani berdasarkan akal budi dan
berdasarkan akal sehat. Jadi mahasiswa baru adalah individu yang sedang
berproses menuju kematangan pribadi baik emosional, intelektual, dan
spiritual”. Merdeka!