Mendidik Hati Nurani dan Moral


Gusti Omkang Hingmane,S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris Undana
Sudah dipublikasikan di Media Informasi dan Komunikasi Undana, no.143/ Oktober 2010


“Hasil penelitian membuktikan bahwa ternyata institusi sekolah mempunyai peranan yang lebih mendominan pada pencapaian tujuan pendidikan yang bersifat kuantitatif seperti perolehan NEM yang tinggi, tetapi peranannya sangat kurang dalam pencapaian tujuan pendidikan yang bersifat kualitatif seperti pembentukan sikap, perilaku, dan kepribadian siswa yang ditanamkan melalui pendidikan budi pekerti pada diri siswa” (Wayan Koster, 2000:138).
            Memang benar kalau kita melihat ke dalam lembaga pendidikan kita. Banyak guru yang selalu mengeluh akan kelakukan peserta didik. Dimana terjadi degradasi moral besar-besaran, katakanlah, meningkatnya pemberontakan remaja atau perkelahian pelajar; meningkatnya ketidakjujuran, seperti suka menyontek, bolos sekolah, selalu  terlambat pergi ke sekolah dan suka mencuri; berkurangnya rasa hormat terhadap guru; tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru; meningkatnya kelompok teman sebaya yang bersifat bengis dan kejam; berbahasa tidak sopan; timbulnya kejahatan dan penggunaan obat terlarang; timbulnya ketidaktahuan sopan santun dan mengabaikan pengetahuan moral, dan lain sebagainya. Dari masalah-masalah di atas ini, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Dan apa yang harus segera dilakukan oleh pendidik di lembaga pendidikan; orang tua di rumah dan masyarakat, agar hal-hal di atas segera teratasi?

Faktor Penyebab
Menurut Yankelovich (1988) merosotnya nilai-nilai moral dan karakter peserta didik disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Keluarga yang tidak utuh, (2) Media massa seperti TV, film, majalah, atau media lainya yang menyajikan kekerasan, pemakaian obat terlarang, penyimpangan perilaku seksual, pencurian, dan kecurangan akademis, (3) Kurang tokoh panutan, karena banyak pemimpin menunjukkan gaya hidup yang bertentangan dengan prinsip moral dan etika. Sedangkan menurut Rosen (1977: 15-22) tidak ada model pembinaan disiplin sekolah, yang meliputi: (1) tanggungjawab siswa, (2) hak asasi siswa, dan (3) peraturan tentang pelanggaran sekolah, seperti membolos, nyontek, mencuri, merokok, berkelahi atau tawuran. Hal ini juga dikomentari oleh Hurlock (dalam I Wayan Koyan, 2000: 65), yang menyatakan bahwa: (1) tidak adanya peraturan sebagai pedoman perilaku, (2) tidak adanya konsistensi peraturan tersebut dalam cara yang digunakan untuk mengajarkan dan melaksanakannya, dan (4) tidak adanya penghargaan untuk  perilaku yang baik dan sejalan dengan peraturan yang berlaku.

Bagaimana Solusinya?
Hal sekarang yang terlupakan oleh pendidikan adalah “budi pekerti” atau dengan istilah lain “pendidikan nilai” karena tampak muncul berbagai gugatan atas kegagalan pendidikan kita yang terlalau menonjolkan aspek kognitif dan mengabaikan aspek moral-afektif yang sebenarnya inti dari hakikat pendidikan. Kalau kita berbicara tentang pendidikan nilai, yang dimaksud ialah “pendidikan” mengenai nilai di “sekolah”, “penanaman” nilai-nilai pada anak didik.
Di Indonesia, sejak budi pekerti terhapus dari rapor anak-anak, pemerintah tampaknya mempercayakan pendidikan nilai itu pada bidang studi agama dan kewarganegaraa/pancasila. Yang terjadi kemudian adalah, kedua bidang studi itu mengikuti arus umum yang ada di dunia persekolahan kita, yakni tenggelamnya aspek pendidikan yang tergusur oleh aspek pengajaran, dan pemujaan berlebih-lebihan terhadap intelektual-kognitif yang mengabaikan aspek emosional-afektif.
Bidang studi agama “mengajarkan” norma-norma agama dari tiap-tiap agama, menjurus pada primordialisme dan bukan pada religusitas atau iman terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang dapat diterima, dan selalu terkandung di dalam, oleh semua agama. Bidang studi pancasila/kewarganegaraan juga terjatuh pada daftar nilai yang harus dihafalkan murid, sejalan dengan indoktrinasi di dalam masyarakat. Yang terjadi kemudian bukanlah “pendidikan” nilai-nilai agama dan pancasila, melainkan “pengajaran” nilai-nilai. Tentu saja hasil pengajaran ini adalah apa yang biasa disebut sebagai hasil atau efek instruksional bukan sampai pada efek pengiring, padahal justru pada yang terakhir itulah terletak aspek pendidikannya.
            Di samping hal yang di atas, Loechrer (dalam I.W. Koyan, 2000) mengemukakan delapan prinsip untuk menanamkan kebajikan (virtue) pada anak, yaitu: (1) memupuk harapan yang lebih dari yang bisa dikerjakan, (2) memberikan bimbingan secara iklas, (3) memberikan maaf secara iklas, (4) memperkuat mental dengan memberikan dorongan positif, (5) memberikan pelayanan secara rahasia jika siswa mengalami masalah pribadi, (6) membuat keputusan secara adil, (7) memendamkan rasa kecewa dengan memberikan penguatan internal untuk memperoleh daya tahan, dan (8) memupuk keuletan untuk bisa bertahan dalam krisis dengan mengubah tantangan menjadi harapan. Hal-hal tersebut di atas, membuat Hurlock (1978) angkat bicara, “dalam penanaman disiplin sebaiknya ditempuh pendekatan demokratis, pembiasaan, keteladanan, dan pemaksaan yang bermakna disertai pemberian penghargaan bagi yang berprilaku positif dan sanksi yang bersifat edukatif bagi yang melanggar”. Hurlock mengatakan bahwa hukuman bersifat edukatif dengan mengacu pada pedoman: (1) hukuman harus disesuaikan dengan pelanggaran dan harus mengikuti sedini mungkin, sehingga siswa akan mengasosiasikan keduanya dalam bentuk evaluasi diri, (2) hukuman harus konsisten, (3) ada kejelasan mengapa mereka harus dihukum, (4) hukuman harus mengarah pada pembentukan hati nurani, dan (5) hukuman tidak boleh membuat siswa merasa terhina atau menimbulkan permusuhan.
            Hal yang terpenting juga adalah perlunya kerangka kerja pendidikan moral yang komprehensip dengan jalan melibatkan siswa, orang tua, masyarakat, dan para pendidik yang terkait dengan dua tujuan pendidikan, yakni pengetahuan akademik dan pendidikan moral. Dengan adanya kerjasama dan kemitraan antar sekolah, keluarga, dan masyarakat, maka program pendidikan moral bisa dirancang bersama-sama sesuai dengan keperluan bersama dan yang dapat diterima oleh masyarakat luas.
            Di samping itu, pembelajaran pendidikan moral yang dipandang efektif untuk melaksanakan pendidikan moral dan budi pekerti adalah model pembelajaran terpadu dan komprehensif. Artinya, pembelajaran pendidikan moral secara terintegrasi pada semua bidang studi atau mata pelajaran di sekolah, sehingga semua guru akan terlibat secara langsung dan bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendidikan moral di sekolah. Dalam pada itu, peraturan tentang pelanggaran sekolah, seperti membolos, nyontek, mencuri, merokok, berkelahi atau tawuran harus juga ditegakkan. Seperti yang diutarakan oleh Januar Gozaga, dalam opininya(Harian Timor Express, Jumat, 1 Oktober 2010), dengan tema “Menghukum dan Menghargai dalam Mendidik”.

Dari beberapa poin di atas, dapat dikatakan bahwa, pihak pendidik jangan hanya mengejar akan kognitif saja tetapi juga moralnya peserta didik pun perlu digembleng. Walaupun dalam ujian nasional atau pun ujian sekolah tidak sempat dihadirkan dalam soal, tetapi educating mind and heart sangat penting karena dapat mengangkat harkat dan martabatnya sebagai manusia. Dalam pada itu, diperlukan integrasi yang komprehensif antara pelajaran yang satu dengan yang lain dengan tujuan meringankan beban kurikulum. Dalam pada itu, “penanaman” nilai-nilai moral cukup dilakukan dengan cara pendekatan perilaku melalui keteladanan guru dalam proses belajar mengajar di sekolah serta dengan mengoptimalkan dan lebih mempertajam mata pelajaran Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial, Kesenian, Sejarah dan lain sebagainya. Dalam pada itu, peraturan tentang pelanggaran sekolah, seperti membolos, nyontek, mencuri, merokok, berkelahi atau tawuran harus juga ditegakkan. Dengan hal tersebut, saya yakin, tidak saja pandai, terampil, ahli, kreatif, dan inovatif, tetapi juga mempunyai budaya, martabat, dan integritas moral yang tinggi. Hal ini, dapat mengembangkan budaya, martabat, dan peradaban bangsa Indonesia. Merdeka!  
Post a Comment (0)
Previous Post Next Post