(Jeritan, dan Gugatan Mahasiswa Selama Ini)
Sudah dipublikasikan di Media Informasi dan Komunikasi Undana, no. 137/Maret 2010
Sudah dipublikasikan di Media Informasi dan Komunikasi Undana, no. 137/Maret 2010
(Oleh: Gusti Omkang Hingmane, S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, UDANA)
Ujian semester telah berlalu. Namun, dalam
menyongsongnya berbagai cara dipersiapkan para mahasiswa demi dapat mengupas
soal-soal yang akan disodorkan para dosen. Berbagai cara dilalui dengan penuh harapan
mendapat nilai yang memuaskan. Demi nilai ini, para mahasiswa berkorban belajar
hari-hari sebelum ujian sampai larut malam atau bahkan sampai tidak mengngenal
waktu (time is learning), harga diri, harta benda, dan bahkan nyawa pun ikut
dipertaruhkan juga.
Setelah usainya ujian semua matakuliah, mahasiswa banyak
yang berprediksi tentang pemberian nilai. Ada
yang sangat optimis dengan jawaban-jawaban yang diberikan. Namun, ada pula yang merasa pesimis dengan
hasil ujian karena mereka pun telah menafsir nilai berapa yang akan didapatkan
A, B, C, D atau bahkan E.
Keoptimisan para mahasiswa
akan nilai matakuliah yang bersangkutan dikarenakan semua persyaratan atau
kesepakatan antara dosen dan mahasiswa tersebut telah dipenuhi oleh mereka.
Ambil contoh, kehadiran ok, pengerjaan semua tugas ok, telah mengikuti semua
ujian (middle and final test) sepanjang semester tersebut ok. Pemikiran ini
didasarkan atas penilaian yang diberikan oleh Universitas Negeri Indonesia (UI)
yang jika semua persyaratan telah dipenuhi, sebagai contoh selalu hadir, selalu
megerjakan tugas, mengikuti ujian Mid dan Final, apalagi ditambah dengan
keaktifan dalam kelas maka di UI secara otomatis nilai C (2) telah ada
ditangan. Para mahasiswa yang bersangkutan cuma bagaimana mencari B (3), dan A
(4) (menurut pengalaman seorang dosen Undana yang alumni dari Universitas
Indonesia). Namun, keoptimesan tersebut kadang-kadang jauh dari panggang api saat
berada di Undana. Banyak mahasiswa yang selalu memenuhi ini pun tidak
diperkenankan untuk lulus. Karena ada dosen yang mengukur intelektualitas
mahasiswanya dari satu komponen, misalkan kehadiran saja, atau jadi presenter
dari mata kuliah (dilihat keaktifannya), atau mengerjakan seluruh tugas saja,
atau mengikuti ujian saja, atau bahkan kedekatan antara dosen dan mahasiswa
yang bersangkutan saja.
Begitu juga yang dikuatirkan
atau dipesimiskan oleh mahasiswa yang telah melanggar kesepakatan alias tidak
memenuhi kontrak tersebut. Dalam benak mereka adalah ketidaklulusan yang
merupakan predikat yang pantas buat mereka. Alasannya, mereka kadang-kadang
tidak setia berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran bahkan mengabaikan
tugas-tugas yang diberikan atau melanggar kontrak yang dilistkan oleh dosen. Namun, kadang-kadang terbalik kenyataannya.
Mereka yang justru lulus. Dan inilah misteri besar bagi mahasiswa yang tidak
lulus, disertai dengan pertanyaan besar, ada apa di balik semua ini?
Dalam
pemberian nilai, kadang-kadang kriteria yang seperti ter-list di atas juga ikut terabaikan, alasannya kenepotismean
(kedekatan) antara dosen dan mahasiswa ikut menentukan. Dan inilah sumber keobjektifitasan
dipertanyakan. Dalam pada itu, para mahasiswa yang jarak ketidakdekatannya
dengan dosen ikut menjadi korban. Dan, ini artinya penilaian bagus atau
tidaknya dilihat dari segi kedekatan bukan keobjektivitasan. Inilah yang
membuat sumber kedegradasian SDM Undana terus menurun yang secara otomatis
berdampak pada NTT yang tercinta ini, di mana keterpurukan NTT terus meningkat
sebagai akibat dari penjebolan para sarjana asalan yang diluluskan dari segi
kedekatan.
Di samping itu pula, tidak
ada formula tetap yang harus digunakan oleh semua dosen untuk menentukan
nilainya para mahasiswa, sehingga menurut penulis dalam pemberian nilai nanti tidak
bisa objektif, karena ada dosen yang menilai dari kehadiran (lihat daftar
hadir), kerja tugas-tugas, ikut presentasi, ikut ujian, bahkan dilihat dari
kedekatan mahasiswa dengan dirinya saja. Selain itu, mahasiswa pun ikut merasa tidak
puas jika tidak ada pengembalian hasil kerja tugas atau ujian yang telah diperiksa dan dinilai oleh
dosen. Jika cara ini dilakukan
maka akan menimbulkan “perang” antara dosen dan orang tua mahasiswa atau
mahasiswa dengan dosen. Jika semuanya dikembalikan, tidak akan ada pemikiran
yang negatif terhadap dosen yang bersangkutan. Di sinilah, keobjektivitasan
dari seorang mahasiswa diukur, layak atau tidak dalam pemerolehan nilai dari
matakuliah tersebut.
Hal
yang sangat disayangkan pula, hilangnya daya imajinasi mahasiswa, mengapa? Banyak dosen yang menuntut dalam mengulas suatu pertanyaan harus
berdasarkan bahasa buku, sebagai contoh
what is language? Dalam menjawab pertanyaan ini para mahasiswa diperkenankan
mengkopi atau me-retell apa yang
tertulis dalam modul matakuliah yang bersangkutan secara lurus-lurus tanpa
harus memberikan kesempatan mahasiswa berimajinasi atau bernalar sendiri apa
itu language. Dalam buku Gede Prama
(2004), yang pernah dibaca oleh penulis yang berjudul Inovasi atau Mati, di sini ditekankan bahwa orang yang tidak
berimajinasi atau berinovasi itu identik dengan orang yang sudah mati, karena
daya imajinasi atau inovasinya hilang. Laksana hidup tanpa arah. Senada dengan itu, Taufik Ismail juga menekankan
bahwa hal itu akan mengakibatkan banyak keluhan dan kesulitan dalam menulis
skripsi. Dengan dua alasan argumennya: pertama,
menyangkut praksis pengajaran mengarang. Kedua,
menyangkut praksis pendidikan lebih luas. Dalam pada itu, Taufik menyebutkan
kesulitan menuangkan ide dalam bahasa tulis yang di dalamnya banyak mahasiswa
ketika menulis skripsi mereka membuat kumulasi yang mampat (Kompas, 22/12/1995).
Hal di atas yang
dipertentangkan oleh penulis adalah tanpa ada pengecekan atau penilaian pada
hasil imajinasi mahasiswa tersebut, apalagi ditambah tulisannya mahasiswa
seperti cakar ayam. Pertanyaan untuk kita bersama, kapan mahasiswa Undana bisa
maju jika yang ditekan adalah menghafal ide orang lain tanpa memberikan
kesempatan berinovasi? Apakah mahasiswa Undana tidak malu disebut plagiator?
Padahal yang harus dilihat kontennya, rasional atau tidak, baru kemudian
diberikan penilaian. Jika tidak dilihat kontennya lalu menaruh nilai itu
namanya ngawur (tidak objektif).
Dari
kesmuannya ini, ada sedikit pesan buat para pendidik, yakni: pertama, harus
memahami tiga domain (dari Benjamin Bloom),
yakni: kognitif, afektif, dan psikomotor. Penulis yakin, ketiga hal ini yang
belum diterapkan dalam penilaian secara baik. Bukannya penulis meragukan para
pendidik, tetapi penulis mau dosen yang adalah edukator tertinggi dari lembaga
pendidikan, seharusnya paham terhadap situasi yang dihadapi oleh para mahasiswa
dalam pemberian nilai yang kadang-kadang contrast
dengan realita. Contoh yang baik yang di-list
oleh dosen Undana, Laurens K Bera dalam Class
Contractnya, pada point ke-8 (pertemuan pertama, pada 4/03/2010). Dengan
adanya pemahaman ini, saya yakin perkembangan mahasiswa pun ikut meningkat. Kedua, berikan kesempatan yang
seluas-luasnya untuk mahasiswa berinovasi dalam menganalisis segala sesuatu, karena
tanpa hal ini daya nalar mahasiswa akan mati. ketiga, Para dosen atau petinggi Universitas tolong gunakan satu
formula pasti dalam pemberian nilai, selain 2 x tugas + 3 x mid + 5 x UAS/10,
karena formula yang ada ini sering kali tidak dipenuhi oleh pendidik. Dan
pertanyaannya, bagaimana dengan matakuliah yang menuntut mahasiswa untuk
presentasi di kelas? Apakah terhitung dengan formula yang ada? Keempat, Pengembalian hasil kerja
(tugas, dan hasil kerja ujian(mid dan
final)) mahasiswa agar mahasiswa pun dapat menilainya
dan bercermin atas kekurangannya, seperti yang dibuat oleh Jos Bire, Yos Kroon,
Laurens K Bera (Dosen Undana),dan lain-lain.
Tidak ada cara lain yang dapat dibuat oleh dosen kalau
dosen tidak menggunakan cara seperti di atas ini, karena yang ada di dalam
benak mahasiswa adalah adanya nepotisme dan ketidakadilan yang objektif. Ini akan mengakibatkan banyak orang tua
mahasiswa yang meragukan program studi bahkan Universitas sekalipun. Kenyataan
berbicara setiap semester orang tua mahasiswa mengamuk bahkan melapor pada
atasan Universitas karena anaknya tidak lulus. Agar hal-hal tersebut tidak
terulang, mari kita rubah cara penilaian kita yang objektif di mata mahasiswa! Merdeka!