(Oleh: Gusti O. Hingmane,
S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, UNDANA)
“Realitas
pemakai bahasa semacam itu dipicu karena dalam benak mereka telah bercokol
suatu anggapan yang keliru bahwa Bahasa Inggris memiliki nilai prestise lebih
tinggi daripada Bahasa Indonesia….” (Gunawan
dan Hamid (2000) dalam Bustan, Optimisme:
Tiada Hari Tanpa Menulis, 2012: 56).
Kutipan di
atas, sungguh sangat menarik jika
diperbincangkan. Mengapa? Kalau pak Bustan --dosen saya dulu di Prodi Bahasa
Inggris-- mengatakan dengan berbahasa Inggris prestise lebih tinggi daripada
bahasa Indonesia. Dari pada itu, saya bertanya, bagaimana dengan bahasa daerah?
Pemakainnya pasti paling rendah prestisenya, bukan? Dalam benaknya saya, hal
itulah yang menyebabkan degradasinya penutur bahasa daerah.
Kepunahan bahasa daerah terjadi di seluruh Nusantara. Multamia RMT Lauder dari Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dalam seminar Empowering Local Language Through ICT, di Jakarta, mengungkapkan bahwa dari 742 bahasa daerah di Indonesia, 169 bahasa terancam punah karena
berpenutur kurang dari 500 orang. Hanya 13 bahasa saja yang penuturnya lebih dari satu juta orang (Jawa Pos, Minggu, 11 Januari 2009). Hal yang lebih mengagetkan
lagi, cuma ada satu orang tua yang dapat berbicara bahasa Bilel--salah satu
bahasa yang ada di kecamatan Alor Barat Daya, desa Probur Utara (Linuskia, Bahasa Bilel di Habolat Nyaris
Punah, Alor Pos, edisi 336 Thn. IX/ Minggu II Maret 2012, hlm. 6)
Peta Persoalan
Menurut saya,
peta persoalan yang dihadapi bahasa daerah terkait dengan ancaman kepunahannya saat ini, di
antaranya berakar pada problem dokumentasi, fungsi, dan
sosialisasi. Dokumentasi karya berbahasa daerah kurang
digalakkan, sementara orientasi fungsinya juga masih penuh tanda tanya, dan
sulit pula menemukan lembaga sosial formal maupun nonformal yang secara
konsisten mengawal pelestarian bahasa daerah.
Di sisi yang lain, bahasa daerah tidak mampu menunjukkan secara jelas fungsi praktis dan progresif yang
signifikan, terutama dalam iklim perubahan sosial yang begitu cepat dan semakin
mendunia. Bahasa daerah tampak ''hanya'' memiliki fungsi sebagai penjaga nilai-nilai kebudayaan
lokal. Jadi, semacam fungsi konservasi nilai saja. Itu pun di tengah gerusan
zaman yang menantang pendefinisian ulang nilai-nilai kebudayaan lokal tersebut
berhadapan dengan nilai dan peradaban global.
Sampai di sini, kita
melihat bahwa perhatian dan sikap negara untuk memosisikan bahasa daerah dalam kaitannya dengan bahasa nasional ternyata masih belum cukup jelas.
Bahasa daerah tidak dipandang sebagai bagian dari masalah nasional. Contohnya, penyerapan bahasa Inggris lebih
banyak daripada bahasa daerah. Padahal, daya tahan dan kelestarian bahasa daerah tidak cukup hanya dipikirkan dan dipakai oleh masyarakat penggunanya saja.
Dari hal-hal
di atas, yang perlu dilakukan sedini mungkin untuk mempertahankan bahasa daerah,
ialah: pertama, perlu dilakukannya penyadaran
sedini mungkin kepada generasi muda bahwa berbahasa daerah itu, bukan penentu
bodoh atau tidak berprestise. Fungsinya bahasa itu sama, yakni sebagai alat
komunikasi.
Kedua, para
pendidik di sekolah dasar yang mengajarnya di pedesaan, katakanlah kelas satu
sampai empat, pengajarannnya lebih baik menggunakan bahasa daerah, mengapa? 1)
karena peserta didik lebih menguasai bahasa daerah daripada bahasa Indonesia.
Pertanyaan rasionalnya begini. Yang diminta dari proses belajar mengajar itu,
ialah pemahaman terhadap apa yang diajarkan, atau pemahaman terhadap bahasa
yang digunakan? Mana yang lebih penting? Saya pikir pertama yang lebih penting.
2) Dari hal
itu, saya pikir juga, anak didik tidak akan merasa terbeban. Belajarnya pun
pasti menyenangkan dan mencerdaskan. Guru juga pasti tidak merasa susah atau
repot kalau mengajar mereka. Jadi, guru jangan kasi sanksi--seperti jewer
telinga, yang dialami oleh saya waktu masih di SD-- kalau anak bicara bahasa
daerah di sekolah.
Namun,
bagaimana dengan ujian nasional? Bahasa daerahnya tidak diujiankan? Saya pikir,
walaupun bahasa daerah tidak diuji secara nasional, tetapi pemertahanan bahasa
daerah perlu digalakkan juga. Soal bahasa Indonesia, dapat diajari atau
dipelajari ketika para peserta didik telah mengerti, katakanlah kelas 5 atau 6
SD.
Ketiga,
seharusnya, pemerintah daerah bersama perguruan tinggi bekerja sama untuk
segera mendokumentasikan aset-aset daerah. Atau katakanlah, ada ahli bahasa atau
mahasiswa yang ingin meneliti bahasa untuk mendokumentasikan, pemerintah harus
mensponsor.
Keempat, pemangku
eksekutif dan legislative harus berpartisipasi
dan berkontribusi penuh dalam merawat bahasa dan budaya dari daerah, karena
itu adalah asset daerah. Katakanlah, galakan satu hari untuk berbahasa satu
bahasa, dan membudayakan budaya berpakaian tenun dari daerah tertentu, seperti
upaya yang dilakukan oleh Bupati Sumba bersama anggota DPR (Pos Kupang, 13 Januari 2011, hlm. 16).
Kelima, sangat
perlu, bahwa semua bahasa daerah yang ada di Nusantara ini segera diserap ke
dalam bahasa Indonesia, karena dengan demikian akan memperkaya bahasa
Indonesia. Semoga!