Berani Bercita-cita

(Oleh: Gusti Omkang Hingmane, S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, UNDANA)


 Pertengahan 1960-an, bocah itu masih duduk di kelas dua SD. Dari satu-satunya televisi di kampungnya, di Alor, ia 'mengenal' anak-anak Barat seusianya. Ia pun membayangkan betapa menyenangkan bermain dengan anak-anak itu. Ia ingin berbincang dengan mereka, menggunakan bahasa mereka. Ia ingin menulis surat pada mereka. Bagaimana caranya? Ia tak tahu. Ia hanya bisa memendam keinginan itu.
Berlalunya tahun, mengantarkan anak itu ke bangku SMP dan SMA, sekolah yang mengenalkannya bahasa Inggris. Tanpa ia sadari, ia begitu antusias dengan pelajaran itu. Bahasa Inggris menjadi pelajaran favoritnya. Apalagi ia mendapat guru yang disebutnya sangat asik mengajar. Guru yang bukan hanya mencatat di papan tulis serta berbicara di depan kelas, namun sesekali memutarkan kaset lagu-lagu berbahasa Inggris, menyanyi, dan meminta murid-muridnya mencatat lirik lagu tersebut. Ia tak pernah melupakan pak Gus, guru honornya itu.
Anak itu menjadi terbaik dalam bahasa Inggris di sekolahnya. Ia tidak pernah ikut kursus sekalipun. Tetapi, bahasa Inggris, sama sekali bukan hambatan baginya buat bergiat dan berprestasi di perusahaan multinasional. Tujuh tahun berkarier, ia berhasil menjadi pemimpin koran tingkat ASEAN. Ia bisa duduk lebih tinggi. Ia bisa lakukan semua itu secara nyaman dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang menjadi keyakinannya.
Di saat bersama para redaktur, dia adalah  manusia Alor yang memimpin orang-orang Barat itu, ia acap tersenyum pada diri sendiri. "Waktu kecil saya ingin berteman dengan anak-anak Barat, sekarang terlaksana"
Cerita di atas itu hanyalah salah satu kisah tentang pencapaian manusia Alor yang tertuntun oleh cita-citanya di masa kecil. Ada ribuan, bahkan, jutaan kisah serupa yang dapat kita gali dari seluruh penjuru dunia. Inti kisah itu adalah sama: obsesi atau cita-cita masa kecil akan mengantarkan pada keberhasilan di masa dewasa.
Kisah semacam itu bertebaran di dunia olahraga juga. Para penggemar tinju tak akan pernah mendapati Chris John menjadi juara dunia kalau petinju Banjarnegara itu tak terpesona pada ayahnya yang menjadi petinju amatir. Para penggemar sepak bola tak akan pernah mengenal nama Nakata bila ikon sepak bola Jepang itu tak terobsesi dengan tokoh komik Tsubasa. Penggemar catur tak akan mengenal nama Karpov bila seorang Rusia kecil dengan bakat lemah tak nekat menembus hujan-hujan salju buat berlatih lantaran mimpinya menjadi pecatur besar.
Banyak guru, dokter, insinyur, arsitek, seniman, perajin, penulis, pilot, polisi, tentara, diplomat, periset, montir, tukang, akuntan, pemasar, bahkan pebisnis maupun kiai, sukses lantaran cita-citanya di masa kecil. Bagi mereka semua, cita-cita menjadi semacam tonggak yang akan memandu ke mana perlu melangkah. Dengan tonggak pemandu itu, langkah menjadi terarah. Selain itu, langkah juga menjadi lebih berenergi lantaran cita-cita memiliki daya dorong luar biasa buat meraih keberhasilan. Bila kita tahu begitu dahsyat peran cita-cita bagi keberhasilan setiap orang, mengapa kita tak menggelorakan cita-cita? "Gantungkan cita-citamu setinggi langit," begitu nasihat lama mengajari kita. "Berazam-lah (miliki kemauan yang tegas dan jelas), lalu bertawakallah," Begitulah kata-kata yang biasa disebut oleh teman-teman muslim kita. Tapi, kita cenderung mengabaikannya. Padahal, bercita-cita jelas kunci pertama untuk meraih sukses. Bercita-cita tak memerlukan modal apa pun. Gratis. Ketiadaan cita-cita yang membuat kita sulit ke mana-mana. Akibatnya, bangsa ini juga sulit ke mana-mana.
Sekarang saatnya mengakhiri keadaan itu dengan menggelorakan semangat 'Berani Bercita-Cita'. Seluruh anak di Alor harus berani bercita-cita. Semua harus menyeru berani bercita-cita. Saya menyebarkan semangat itu lewat tulisan ini. Selain itu, setiap orang tua harus membimbing anak-anaknya agar berani bercita-cita; setiap pemimpin harus mengajak rakyatnya berani bercita-cita, setiap politisi mengajak semua pendukungnya berani bercita-cita, juga setiap guru tak berhenti memompa keberanian anak didiknya untuk berani bercita-cita.
Alangkah dahsyat kabupaten ini, ketika semua guru, pemimpin, masyarakat, orang tua bertindak demikian. Jika setiap anak SD, SMP, SMA, dan kita semua memiliki cita-cita yang jelas sebagaimana murid SD kelas dua di Alor, NTT, itu. Maka akan banyak idealist yang handal dan ber-SDM di kabupaten ini. Semoga.
                             


Post a Comment (0)
Previous Post Next Post