(Oleh: Gusti O. Hingmane,S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, UNDANA)
Sudah dipublikasikan di Timor Express, Rabu, 9 September 2010
Dalam
membedah mutu pendidikan di tanah air hingga hari ini, terlihat ada tiga faktor
penyebab terjadinya degradasi mutu pendidikan, antara lain: pertama, strategi pembangunan pendidikan
kita selama ini lebih bersifat ”input
oriented”. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa
bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku
(materi belajar) dan kurikulum, penyediaan sarana pendidikan, serta pelatihan
guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan
di sekolah manapun di Indonesia ini, akan dapat menghasilkan output (keluaran)
yang bermutu sebagaimana yang diharapkan. Ternyata, strategi input-output ini
tidak berfungsi efektif di lembaga pendidikan di daerah manapun di Indonesia.
Kedua, Pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat ”macro oriented”, yaitu diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat
pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro tidak
berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Bahkan, tidak jarang
apa yang diproyeksikan di tingkat pusat cenderung menyimpang dari realitas
sesungguhnya di sekolah-sekolah. Dengan kata lain, kompleksitas cakupan
permasalahan pendidikan di banyak sekolah, seperti kondisi lingkungan sekolah,
bervariasinya kebutuhan siswa dalam belajar, bervariasinya kemampuan guru, serta
berbedanya aspirasi masyarakat terhadap pendidikan, seringkali tidak
terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi yang melahirkan kebijakan di
tingkat makro (pusat).
Ketiga,
Pada tingkat sekolah sendiri persoalan yang kerap terjadi adalah lemahnya kemampuan
kepala sekolah dalam membaca arus global. Tidak dapat dipungkiri, masih banyak
sekali kepala sekolah di negeri ini yang tidak menguasai pengetahuan standar
sebagai kepala sekolah seperti; kemampuan manajerial, penguasaan teknik
kepemimpinan, menguasai teknologi informasi (komputer, internet), dan
sebagainya. Kondisi ini masih terus terjadi lantaran di banyak sekolah, jabatan
kepala sekolah tidak jarang dipilih melalui "sistem tunjuk" yang
hanya didasarkan pada analisa faktor loyalitas, senioritas, ketokohan, dan
kedekatan hubungan, dan mengesampingkan analisa kompetensi pribadi dan kemauan
bersaing. Hasil yang kita saksikan adalah kerja kesehariana kepala sekolah
cenderung konvensional, yaitu mengedepankan budaya kerja Asal Bapak Senang
(ABS), menurut petunjuk, dan sebagainya. Kondisi yang sama kemudian ditiru para
guru dari hari ke hari yang kemudian menghasilkan budaya kerja yang jauh
panggang dari kompetensi dan professional. Akibat yang kita saksikan dari
budaya kerja demikian adalah mutu pendidikan kita secara nasional terus melorot
dari waktu ke waktu dan anak didik kita
tidak mampu bersaing secara terbuka di era yang serba kompetitif saat ini.
Tiga hal
yang di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan
bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan semata yang harus
digarap di tingkat pusat, tetapi juga harus terus memperhatikan faktor proses
pendidikan itu sendiri di sekolah-sekolah. Input, merupakan hal mutlak harus
ada dalam batas-batas tertentu, tetapi tidak menjadi jaminan secara otomatis
dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Har Tilaar
(2003) juga menekankan yang lebih terarah sesuai dengan perkembangan kehidupan
politik dan sosial budaya di era ini, yakni: pertama, arah pendidikan harus jelas. Tujuan pendidikan kita tidak
jelas akan ke mana arahnya. Diharapkan pendidikan harus mempunyai pertimbangan
dimensi waktu, misalnya meperhatikan perkembangan politik dewasa ini, juga
kerja sama antara regional dan internasional. Dengan demikian, pendidikan nasional
mempunyai target yang jelas. Kedua,
masalah pendidikan wajib belajar pendidikan dasar. Wajib belajar 9 tahun yang
sudah lama didengung-dengungkan tidak pernah tuntas, karena tidak diketahui
siapa yang betanggungjawab atas pendidikan dasar ini. Pemerintah daerah dan
pusat harus menanggung sepenuhnya biaya pelaksanaan kewajiban belajar 9 tahun.
Kebanyakan anak daerah kita banyak yang tidak dan belum mendapat pendidikan
dasar 9 tahun, dikarenakan oleh ketiadaan biaya dan kemiskinan. Ketiga, konsep “feodalisme intelektual”
untuk pendidikan Menengah dan Tinggi, dan ini menurut Thomas Jeffereson bahwa
setiap manusia dikaruniai dengan kemampuan intelektual yang berbeda. Dan itu merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan
bersama manusia. Dalam kaitan dengan
pendidikan, maka sistem pendidikan harus memberikan tempat untuk perkembangan
bakat dan intelektual yang berbeda tersebut. Ini, tentunya dibutuhkan suatu
seleksi dan evaluasi mengenai kemampuan dan bakat mereka setelah pendidikan
dasar.
Senada
dengan hal di atas, Prof. Felix Tans (dalam makalahnya ”Sistem Pendidikan
Nasional Indonesia: Apanya yang Salah?”) mengatakan bahwa
seorang peserta didik yang berminat dan/atau berbakat dalam suatu bidang,
biarlah dia belajar itu saja, jangan paksakan juga untuk belajar yang lain.
Inilah yang menurut Prof. Felix Tans disebut pembelajaran berdasarkan kebutuhan
belajar (learning needs), minat (interst), dan bakat (talent) peserta didik. Prof.
Felix Tans juga katakan, supaya berhasil model pembelajaran ini, peserta didik
dengan bantuan guru/dosennya perlu menanamkan dalam dirinya imajinasi dan
oto-sugesti yang kuat, bahwa mereka bisa kalau mereka belajar lebih rajin,
punya tekad yang kuat, dan disiplin yang tinggi, pasti berhasil dalam bidang
apapun.
Hal seperti
ini juga diilustrasikan oleh kak Seto dalam buku dongengnya (dalam opininya
Yeverson di Timex, 23-06-2009)”sebutlah sebuah kisah di hutan belantara yang
lebat, di sana akan terselenggarakan sebuah sekolah untuk para binatang yang
ada dalam hutan tersebut. Ada pun mata pelajaran pokok yang akan diajarkan
adalah berlari, memanjat, terbang, dan berenang. Dengan demikian, semua murid
yang berprestasi diharapkan mampu menguasai keempat mata pelajran pokok di
atas. Namun bagaimana kenyataan di lapangan mari kita lihat: Si kucing hutan
amat pandai dalam mata pelajaran berlari dan memanjat, namun sayangnya ia tidak
pandai/kesulitan dalam mata pelajaran berenang dan terbang, berkali-kali coba
pun tetap mengalami kegagalan. Berkali-kali ia memanjat pohon yang tinggi
kemudian meloncat agar bisa terbang seperti burung yang terbang namun tetap
gagal dan sebagai akibatnya kucing terjatuh dan terguling-guling di tanah
dengan mengeong kesakitan.lain halnya dengan si bebek, ia cukup mahir dalam
berenang. Terbang pun untuk jarak yang tidak terlalu jauh masih mampu
melakukan. Namun, berlari dengan cepat mengalami kesulitan, apalagi untuk
memanjat ”
Mengingat
sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai
keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan beragam dan
kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis
dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan
kualitas/mutu pendidikan. Hal ini hanya dapat dilaksanakan jika kepala sekolah
di tingkat unit terkecil, memiliki sejumlah kompetensi dasar untuk bisa
mengelola sekolah secara baik.
Dari
sejumlah persoalan yang menghiasi komunitas pendidikan seperti diuraikan di
atas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah konsep pendidikan seperti apa yang
harus kita kembangkan agar siswa lulusan sekolah kita bisa memasuki ”the world
systems”? Masih ada hubungannya
dengan pertanyaan ini, bisakah tatanan hidup masyarakat kita diubah oleh
sekolah sebagai institusi pembentuk nalar dan budi manusia Indonesia? Pertanyaan
bernuansa pesimis inilah yang santer dikemukakan segelintir orang saat ini di
tengah tidak siapnya banyak aktor pada komunitas sekolah menyeberangi arus
globalisasi yang sarat tantangan dan mengandalkan kompetensi dan
profesionalitas personal. Lanjutan dari pertanyaan di atas adalah, apakah
perubahan kurikulum, sertifikasi tenaga guru, pengesahan undang-undang Guru dan
Dosen dan perubahan-perubahan lainnya bisa mengatasi akar masalah pendidikan?
Jawabannya tentu saja tidak. Sebab semua perubahan yang ada bersifat semu,
sesaat, penuh muatan politis, dan sarat
korupsi dan kepentingan. Hal tersebut tertulis dalam harian Pos Kupang (16-11-2009, hlm. 5) tentang
sertifikasi guru ”ke depan sertifikasi guru ditinjau kembali karena ditemukan
berbagai masalah dimana yang diharapkan ke depan adalah kompetensi gurunya,
tetapi penilaian potofolio yang diberikan sekarang ini banyak terjadi
manipulasi. Contoh, satu sertifikat nama beda, tetapi ada foto yang sama,
penilaian hanya dilihat dari belakang meja, lebih banyak bersifat politis”
Dalam
mengahadapi kenyataan seperti ini, kita menghadapi dua pilihan antara
"membiarkan diri terseret oleh proses globalisasi" atau "kita
memanfaatkan proses globalisasi untuk meningkatkan kompetensi dan
profesionalitas pribadi". Saya kira, kita semua memilih yang terakhir ini.
Jika demikian halnya maka kita harus memasuki ”the world systems” dengan sadar
dan iklas. Di samping itu, kita harus pula mendefinisikan dengan jelas, jenis
modernitas seperti apa yang akan kita pergunakan sebagai rancangan dasar untuk
menjalani modernisasi proses pendidikan. Saya kira, kedua hal ini belum kita
pikirkan secara baik di komunitas pendidikan di tanah air hingga saat ini. Merdeka!