(Oleh: Gusti Omkang Hingmane,S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa
Inggris, UDANA)
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas)
Mohammad Nuh menyatakan bahwa Ujian Nasional (UN) tahun 2010 akan tetap
berlangsung sebagaimana yang telah direncanakan. Pernyataan mendiknas ini
merespon desakan dari berbagai pihak yang menginginkan UN 2010 dibatalkan atau
ditiadakan menyusul keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) yang tidak
mengabulkan kasasi UN dari pemerintah. Mendiknas bersikeras tetap melaksanakan
UN 2010 dengan dalih bahwa hal tersebut sudah sesuai dengan Permendiknas No.75
tahun 2009 serta anggarannya pun telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Lagi pula, lanjut Mendiknas, tidak ada pernyataan yang secara jelas
melarang diselenggarakannya Ujian Nasional dalam keputusan MA tersebut. Dan, bila pun ada,
pemerintah masih punya satu lagi usaha hukum yang dapat dilakukan yaitu peninjauan kembali (PK).
Kengototan pemerintah, dalam
hal ini diwakili oleh Mendiknas, untuk tetap melaksanakan UN 2010 menandakan
tidak adanya sensitifitas terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Suara rakyat mengenai permasalahan UN yang diwakili oleh tokoh dan pakar
pendidikan dianggap angin lalu saja oleh pemerintah. Berbagai masukan positif
agar UN dapat berjalan lebih baik dan lebih adil tidak ditanggapi dengan serius.
Para anggota DPR yang duduk
di Komisi X yang diantaranya mengurus bidang pendidikan seolah bagai kacang
yang lupa kulitnya. Mereka sangat mungkin telah mengidap amnesia sehingga lupa
akan janji-janji mereka untuk memperjuangkan aspirasi rakyat khususnya di
bidang pendidikan. Meskipun ada anggota DPR yang bersuara keras agar UN dikaji
ulang atau bahkan dihapuskan bila melukai atau merugikan masyarakat, akan
tetapi pada kenyataannya anggaran untuk menyelenggarakan UN tetap disetujui
oleh DPR. Inilah bukti nyata untuk ke sekian kalinya rakyat dikorbankan dan
dikalahkan demi kepentingan-kepentingan lainnya.
Kecerdasan Majemuk dan Kurikulum Otak Kiri
Konsep mengenai kecerdasan pada saat
ini sudah sangat jauh berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Berdasarkan
penelitian mutakhir di bidang pendidikan ditemukan bahwa ternyata ada lebih
dari satu jenis kecerdasan yang dimiliki oleh setiap manusia. Dahulu orang dianggap cerdas
(hanya) apabila ia menguasai matematika atau memiliki kemampuan berbahasa yang
bagus. Sedangkan jika seseorang lemah di kedua atau salah satu bidang tersebut,
maka orang tersebut dianggap dan diberilabel‘bodoh’.
Sekarang semua pakar pendidikan sepakat bahwa kecerdasan
itu tidak tunggal tetapi kecerdasan itu ada banyak atau majemuk. Dengan
‘ditemukannya’ konsep kecerdasan majemuk, maka semestinya tidak ada lagi
istilah, ungkapan atau label ‘bodoh’ yang disematkan atau diberikan kepada
siswa atau peserta didik yang kurang menguasai salah satu atau beberapa jenis
kecerdasan. Manusia dilahirkan dan diciptakan berbeda oleh Allah.
Demikian pula jenis kecerdasannya. Ada orang yang secara alamiah pintar di
bidang matematika, tetapi ada pula yang menonjol pada jenis kecerdasan lainnya.
Sehingga adalah sebuah kesalahan besar mengatakan siswa atau peserta didik
bodoh hanya karena ia lemah di salah satu bidang atau jenis kecerdasan.
Seiring diakuinya keberadaan
kecerdasan majemuk, maka muncul konsep bahwa semua orang atau anak dilahirkan
cerdas. Tinggal orang tua, guru dan sekolah menemukan jenis kecerdasan apa yang
ada pada diri setiap anak. Dan, hal yang lebih penting adalah mengembangkan
jenis kecerdasan yang dimiliki oleh anak tersebut. Ini penting karena apabila
orang tua, guru dan sekolah gagal ‘membaca’ dan mengembangkan jenis kecerdasan
anak tersebut, maka akibatnya adalah anak atau siswa ini akhirnya hanya diberi
label atau cap anak nakal dan bermasalah.
Selain jenis kecerdasan
majemuk, hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana siswa memanfaatkan
kedua belahan otaknya dalam belajar. Menurut pakar otak, manusia dalam belajar
atau memperoleh pengetahuan menggunakan kedua bagian otaknya. Otak kiri lebih
berhubungan dengan masalah logis sedangkan otak kanan berhubungan dengan
kreatifitas dsb. Sayangnya kurikulum pendidikan kita kurang mengakomodasi
kecerdasan majemuk dan penggunaan kedua belah otak secara seimbang. Kurikulum
sekarang hanya menitikberatkan pada penggunaan otak kiri. Bukti nyatanya adalah adanya
Ujian Nasional. Siswa ‘dipaksa’ untuk membuktikan bahwa mereka cerdas di bidang
studi yang sebenarnya bukan kecerdasan alamiahnya. Jika mereka gagal (meskipun
hanya gagal pada satu bidang studi yang diujikan), maka mereka harus mau dan
rela mendapatkan status ‘tidak lulus’ serta cap ‘anak bodoh’. Kecerdasan
alamiah siswa (yang sebenarnya merupakan potensi terbesarnya) akhirnya tidak
mampu menolongnya. Sungguh sebuah ironi di dunia pendidikan.
Ujian (Kreatifitas) Nasional
Ujian nasional yang memakan
anggaran sangat besar terbukti telah gagal dalam menjalankan fungsinya yaitu
sebagai alat untuk memetakan dan meningkatkan mutu pendidikan. Dijadikannya Ujian nasional
sebagai syarat utama kelulusan siswa adalah alasan utama mengapa Ujian nasional
gagal dalam memetakan mutu pendidikan. Data-data statistik Ujian nasional sama
sekali tidak mencerminkan peta mutu pendidikan di Indonesia yang sebenarnya. Kecurangan
adalah kata kuncinya. Dengan pelaksanaan Ujian nasional yang penuh dengan
kecurangan di mana-mana, maka sangat naif untuk memanfaatkan data nilai Ujian nasional untuk mengetahui peta mutu pendidikan di Indonesia.
Pemerintah mengatakan Ujian
nasional telah berhasil meningkatkan mutu pendidikan nasional. Ini adalah klaim
menyesatkan. Pasalnya, pemerintah mengambil kesimpulan tersebut hanya
berdasarkan angka dan data di atas kertas. Padahal situasi riil di lapangan
adalah sangat jauh berbeda. Lagi pula pola soal Ujian nasional yang hanya
terdiri dari pilihan ganda memungkinkan adanya unsur keberuntungan dan besarnya
kemungkinan terjadinya kecurangan. Jika pemerintah benar-benar ingin agar mutu pendidikan
meningkat, maka pemerintah harus berbenah di segala sektor atau bidang. Mulai
dari penyiapan tenaga pengajar yang profesional dan bermutu, melengkapi sarana
dan prasarana sekolah serta menyiapkan ujian yang lebih adil, bermanfaat dan
bermartabat.
Pola pengujian yang bernama
Ujian nasional sudah saatnya untuk segera diakhiri. Selain telah banyak memakan
korban (siswa tidak lulus, degradasi moral akibat kecurangan guru, siswa dan
kepala sekolah), Ujian nasional terbukti telah gagal dalam menjalankan fungsi
dan misi utamanya yakni meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah diharapkan
mempertimbangkan adanya kecerdasan majemuk dan keseimbangan penggunaan kedua
belahan otak dalam menyusun suatu sistem pengujian baru. Sistem pengujian baru
tersebut nantinya kita harapkan bukan hanya untuk menguji ingatan siswa atau
peserta didik, melainkan juga dapat menguji kreatifitas siswa.
Era globalisasi tidak lagi
menuntut tenaga kerja yang cuma mampu menghafal data dan fakta tanpa adanya
kemampuan untuk menyelesaikan masalah (problem solving), inovatif dan kreatif.
Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah menyiapkan generasi muda yang
mampu bersaing dalam hal kreatifitas dan inovasi serta mampu menyelesaikan
masalah yang akan dihadapinya nanti. Tidak ada jalan lain bagi pemerintah
selain merubah sistem pengujiannya. Sistem yang dapat mengukur tingkat
kreatifitas siswa dan potensinya dalam menghadapi kehidupan. Merdeka!