Mendiknas dan DPR Tak Bermata


(Sudah dipublikasikan di Timor Express, Rabu, 12 Januari 2011)
(Oleh: Gusti Omkang Hingmane,S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, UDANA)

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menyatakan bahwa Ujian Nasional (UN) tahun 2010 akan tetap berlangsung sebagaimana yang telah direncanakan. Pernyataan mendiknas ini merespon desakan dari berbagai pihak yang menginginkan UN 2010 dibatalkan atau ditiadakan menyusul keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) yang tidak mengabulkan kasasi UN dari pemerintah. Mendiknas bersikeras tetap melaksanakan UN 2010 dengan dalih bahwa hal tersebut sudah sesuai dengan Permendiknas No.75 tahun 2009 serta anggarannya pun telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lagi pula, lanjut Mendiknas, tidak ada pernyataan yang secara jelas melarang diselenggarakannya Ujian Nasional dalam keputusan MA tersebut. Dan, bila pun ada, pemerintah masih punya satu lagi usaha hukum yang dapat dilakukan yaitu peninjauan kembali (PK).
Kengototan pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Mendiknas, untuk tetap melaksanakan UN 2010 menandakan tidak adanya sensitifitas terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Suara rakyat mengenai permasalahan UN yang diwakili oleh tokoh dan pakar pendidikan dianggap angin lalu saja oleh pemerintah. Berbagai masukan positif agar UN dapat berjalan lebih baik dan lebih adil tidak ditanggapi dengan serius.
Para anggota DPR yang duduk di Komisi X yang diantaranya mengurus bidang pendidikan seolah bagai kacang yang lupa kulitnya. Mereka sangat mungkin telah mengidap amnesia sehingga lupa akan janji-janji mereka untuk memperjuangkan aspirasi rakyat khususnya di bidang pendidikan. Meskipun ada anggota DPR yang bersuara keras agar UN dikaji ulang atau bahkan dihapuskan bila melukai atau merugikan masyarakat, akan tetapi pada kenyataannya anggaran untuk menyelenggarakan UN tetap disetujui oleh DPR. Inilah bukti nyata untuk ke sekian kalinya rakyat dikorbankan dan dikalahkan demi kepentingan-kepentingan lainnya.
Kecerdasan Majemuk dan Kurikulum Otak Kiri
            Konsep mengenai kecerdasan pada saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Berdasarkan penelitian mutakhir di bidang pendidikan ditemukan bahwa ternyata ada lebih dari satu jenis kecerdasan yang dimiliki oleh setiap manusia. Dahulu orang dianggap cerdas (hanya) apabila ia menguasai matematika atau memiliki kemampuan berbahasa yang bagus. Sedangkan jika seseorang lemah di kedua atau salah satu bidang tersebut, maka orang tersebut dianggap dan diberilabel‘bodoh’.          
Sekarang semua pakar pendidikan sepakat bahwa kecerdasan itu tidak tunggal tetapi kecerdasan itu ada banyak atau majemuk. Dengan ‘ditemukannya’ konsep kecerdasan majemuk, maka semestinya tidak ada lagi istilah, ungkapan atau label ‘bodoh’ yang disematkan atau diberikan kepada siswa atau peserta didik yang kurang menguasai salah satu atau beberapa jenis kecerdasan. Manusia dilahirkan dan diciptakan berbeda oleh Allah. Demikian pula jenis kecerdasannya. Ada orang yang secara alamiah pintar di bidang matematika, tetapi ada pula yang menonjol pada jenis kecerdasan lainnya. Sehingga adalah sebuah kesalahan besar mengatakan siswa atau peserta didik bodoh hanya karena ia lemah di salah satu bidang atau jenis kecerdasan.
Seiring diakuinya keberadaan kecerdasan majemuk, maka muncul konsep bahwa semua orang atau anak dilahirkan cerdas. Tinggal orang tua, guru dan sekolah menemukan jenis kecerdasan apa yang ada pada diri setiap anak. Dan, hal yang lebih penting adalah mengembangkan jenis kecerdasan yang dimiliki oleh anak tersebut. Ini penting karena apabila orang tua, guru dan sekolah gagal ‘membaca’ dan mengembangkan jenis kecerdasan anak tersebut, maka akibatnya adalah anak atau siswa ini akhirnya hanya diberi label atau cap anak nakal dan bermasalah.
Selain jenis kecerdasan majemuk, hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana siswa memanfaatkan kedua belahan otaknya dalam belajar. Menurut pakar otak, manusia dalam belajar atau memperoleh pengetahuan menggunakan kedua bagian otaknya. Otak kiri lebih berhubungan dengan masalah logis sedangkan otak kanan berhubungan dengan kreatifitas dsb. Sayangnya kurikulum pendidikan kita kurang mengakomodasi kecerdasan majemuk dan penggunaan kedua belah otak secara seimbang. Kurikulum sekarang hanya menitikberatkan pada penggunaan otak kiri. Bukti nyatanya adalah adanya Ujian Nasional. Siswa ‘dipaksa’ untuk membuktikan bahwa mereka cerdas di bidang studi yang sebenarnya bukan kecerdasan alamiahnya. Jika mereka gagal (meskipun hanya gagal pada satu bidang studi yang diujikan), maka mereka harus mau dan rela mendapatkan status ‘tidak lulus’ serta cap ‘anak bodoh’. Kecerdasan alamiah siswa (yang sebenarnya merupakan potensi terbesarnya) akhirnya tidak mampu menolongnya. Sungguh sebuah ironi di dunia pendidikan.
Ujian (Kreatifitas) Nasional
Ujian nasional yang memakan anggaran sangat besar terbukti telah gagal dalam menjalankan fungsinya yaitu sebagai alat untuk memetakan dan meningkatkan mutu pendidikan. Dijadikannya Ujian nasional sebagai syarat utama kelulusan siswa adalah alasan utama mengapa Ujian nasional gagal dalam memetakan mutu pendidikan. Data-data statistik Ujian nasional sama sekali tidak mencerminkan peta mutu pendidikan di Indonesia yang sebenarnya. Kecurangan adalah kata kuncinya. Dengan pelaksanaan Ujian nasional yang penuh dengan kecurangan di mana-mana, maka sangat naif untuk memanfaatkan data nilai Ujian nasional untuk mengetahui peta mutu pendidikan di Indonesia.
Pemerintah mengatakan Ujian nasional telah berhasil meningkatkan mutu pendidikan nasional. Ini adalah klaim menyesatkan. Pasalnya, pemerintah mengambil kesimpulan tersebut hanya berdasarkan angka dan data di atas kertas. Padahal situasi riil di lapangan adalah sangat jauh berbeda. Lagi pula pola soal Ujian nasional yang hanya terdiri dari pilihan ganda memungkinkan adanya unsur keberuntungan dan besarnya kemungkinan terjadinya kecurangan. Jika pemerintah benar-benar ingin agar mutu pendidikan meningkat, maka pemerintah harus berbenah di segala sektor atau bidang. Mulai dari penyiapan tenaga pengajar yang profesional dan bermutu, melengkapi sarana dan prasarana sekolah serta menyiapkan ujian yang lebih adil, bermanfaat dan bermartabat.
Pola pengujian yang bernama Ujian nasional sudah saatnya untuk segera diakhiri. Selain telah banyak memakan korban (siswa tidak lulus, degradasi moral akibat kecurangan guru, siswa dan kepala sekolah), Ujian nasional terbukti telah gagal dalam menjalankan fungsi dan misi utamanya yakni meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah diharapkan mempertimbangkan adanya kecerdasan majemuk dan keseimbangan penggunaan kedua belahan otak dalam menyusun suatu sistem pengujian baru. Sistem pengujian baru tersebut nantinya kita harapkan bukan hanya untuk menguji ingatan siswa atau peserta didik, melainkan juga dapat menguji kreatifitas siswa.
Era globalisasi tidak lagi menuntut tenaga kerja yang cuma mampu menghafal data dan fakta tanpa adanya kemampuan untuk menyelesaikan masalah (problem solving), inovatif dan kreatif. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah menyiapkan generasi muda yang mampu bersaing dalam hal kreatifitas dan inovasi serta mampu menyelesaikan masalah yang akan dihadapinya nanti. Tidak ada jalan lain bagi pemerintah selain merubah sistem pengujiannya. Sistem yang dapat mengukur tingkat kreatifitas siswa dan potensinya dalam menghadapi kehidupan. Merdeka!


Post a Comment (0)
Previous Post Next Post