Gusti Omkang Hingmane,S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, UNDANA
(Sudah dipublikasikan di Media Informasi dan Komunikasi Undana, no. 138/ Mei 2010)
Banyak di antara kita yang sangat menggelengkan kepala,
sebagai akibat dari terdepannya tingkat ketidaklulusan SMA/SMK di NTT, di mata
bangsa Indonesia. Di sini, banyak di antara kita yang menyalahkan para guru
karena kurang berpendidikan atau kurang serius mengajar; menyalahkan sekolah
karena ketiadaan bahkan kekurangan fasilitas yang menunjang proses belajar
mengajar; bahkan menyalahkan para siswa karena ketidaksiapan para siswa dalam
mengikuti ujian, yang kemudian dibuktikan hasil UN yang sangat tidak
menggembirakan.
Namun, sebenarnya, yang patut dipertanyakan juga sejauh
mana pemerintah pusat telah memberikan kewenangan kepada sekolah dalam
menggolkan para siswanya (desentralisasi pendidikan), dimana kewenangan untuk
meluluskan para siswa sebenarnya harus berada di tangan sekolah. Hal ini
membuat para ahli pendidikan angkat bicara ”adanya otonomi daerah yang
dilanjutkan dengan otonimi pendidikan yang dibuat DPR bersama pemerintah,
menunjukkan bahwa pendidikan seolah-olah dan sengaja ingin dilepaskan dari
pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab. Pendidikan dilepaskan dengan
menggunakan alat DPR selaku lembaga yang membuat aturan tersebut (Moh Yamin, 2009:
33)”. Benny Susetyo pun berargumen
(dalam Moh Yamin, 2009: 34), ”ternyata pelaksanaan otonomi tersebut tidak dapat
dilakukan secara menyeluruh. Terbukti pemerintah pusat
masih melakukan sentralisasi beberapa kebijakan dalam dunia pendidikan, sebut
saja penetapan sejumlah standarisasi pengelolaan, baik kurikulum, kompetensi
siswa, penilaian hasil belajar, dan lain seterusnya sehingga proses pelaksanaan
tersebut terkesan desentralisasi setengah hati”.
Di samping itu pula, saya sebagai calon guru, dalam hati
kecil saya sangat kecewa, menyaksikan kebanggaan semu para pengambil keputusan
di Depdiknas. Mereka merasa
selesai dengan menaikkan patokkan angka kelulusan, sementara menutup mata
dengan proses dan pelaksanaan di lapangan. Seperti
bunyi kalimat bijak yang belum usang ”the goal is also in the process”, hasil
pun ada pada proses. Kalau gedung-gedung sekolah masih berantakan, kurikulum
masih babak belur dan para guru tersaruk-saruk profesionalitasnya, upaya sistem
macam apa yang telah dilakukan untuk memperbaiki mutu pelayanan pendidikan
sehingga angka kelulusannya meningkat?
Sebenarnya yang harus
dipertanyakan juga, sejauh mana ke-fair-an dalam pemeriksaan lembaran jawaban
yang dikerjakan oleh para siswa. Karena kenyataan berbicara, banyak siswa yang
mengerjakan soal tidak secara sempurna, toh mendapat nilai 10. Ada yang
memperkirakan mendapat nilai 3, toh keluarnya 5? Mungkin juga banyak sekolah yang
tercengang dengan nilai-nilai siswanya yang melebihi hasil quickcount, setelah ujian berlangsung. Pasti bukan kebetulan, kalau
selisih itu terjadi merata pada hampir seluruh siswa. Lalu ada apa dengan
pemprosesan ujian itu? Saya pikir ini perlu ditelusuri, karena banyak siswa
yang mendapat ranking dari kelas-kelas sebelumnya, nyatanya tidak lulus.
Sedangkan yang lulus adalah siswa-siswa yang mau dibilang tidak lulus, kalau
dilihat dari rankingnya yang sangat memprihatinkan.
Yang patut
dipertanyakan pula, di mana teori kedua domain yang sebenarnya, yang harus
digunakan dalam menentukan kelulusan para siswa, karena di mata penulis, ujian
nasional ini hanya mengukur pengetahuan para siswa, tanpa juga menghitungkan
nilai kedua domain tersebut. Jadi yang harus dilakukan agar ketiga domain
tersebut diterapkan, dan ada kesesuaian dengan desentralisasi pendidikan, maka
seharusnya untuk meluluskan para siswa ini harus dikembalikan kepada sekolah untuk
menentukan kelulusan dan kefairannya.
Solusi
Untuk memperbaiki tingkat kelulusan, agar tidak
dikatakan sebagai propinsi yang terdepan ketidaklulusannya, maka ada beberapa hal
yang harus dilakukan adalah: pertama, pemerintah bersama DPR harus mendefinisi
ulang istilah desentralisasi, dimana untuk kelulusan ujian dari para siswa ditentukan
oleh sekolah atau pusat. Hal ini yang belum jelas. Kenyataan berbicara,
sentralisasi masih menguasai ranah sekolah (desentralisasi). Apakah sebenarnya,
seperti: penetapan sejumlah standarisasi pengelolaan, baik kurikulum,
kompetensi siswa, penilaian hasil belajar, dan lain seterusnya kewenangan
sekolah atau pusat? Pemerintah
dan DPR jangan menutup mata dan seolah-olah tidak tahu pendidikan di negeri
ini.
Kedua, jika masih
disentralisasikan, khususnya penentuan kelulusan siswa, para pemangku jabatan
pendidikan (Mendiknas dan bawahannya) tolong gunakan tiga domain (kognitif,
afektif, dan psikomotor) dalam menentukan kelulusan, karena kenyataan berbicara
UN hanya mengukur pengatahuan (kognitif) saja. Hal ini sangat bertentangan
dengan evaluasai yang diterapkan di sekolah, yakni seperti penilaian yang ada
pada lopornya siswa (penilain berupa: kognitif, afektif, dan psikomotor). Ujian
Nasional dan Ujian sekolah benar-benar sangat berjauhan. Laksana air dan
minyak.
Ketiga, dan jika mau nilai
ujian distandarisasikan dan kelulusannya tetap ditentukan oleh pusat, maka
pemerintah harus segera memperbaiki seluruh kendala yang dihadapai sekolah,
seperti fasilitas yang menunjang standarisasi, pengizinan para guru untuk
meningkatkan tingkat qualitas mereka melalui studi bahkan perlu ikut
sertifikasi untuk mendukung profesinalitas mereka, karena banyak sekolah yang
ada di pelosok di Indonesia, dan khususnya NTT ini yang belum bahkan tidak
dapat diakui untuk mengikuti standarisasi UN.
Saya yakin, semua masalah yang
tertera di atas jika diperbaiki dengan mengikuti beberapa terobosan tersebut,
baru kemudian distandarisasikan, tingkat kelulusan, saya pikir akan naik. Saya
pikir ini adalah sesuatu yang sangat rasional karena menstandarkan pada tingkat
keseimbangan antara sekolah di pusat dan sekolah di daerah. Jika tidak, kasihan
kelengkapan sekolah di perkotaan yang serba lengkap mau disamakan dengan
sekolah di pelosok yang belum, bahkan tidak ada fasilitas sama sekali, dan
ditambah dengan guru yang belum layak dikatakan guru. Tak heran banyak
ketidaklulusan ujian kebanyakan berasal dari sekolah-sekolah yang ada di
daerah.
Keempat, jika masih
disentralisasikan (penentuan kelulusan), maka hal yang harus dilakukan oleh
sekolah sedini mungkin adalah keefektifitasan harus di mulai dari kelas satu,
jangan pada kelas tiga saja, seperti yang diutarakan Soleman Dapa Taka, kepala
sekolah Mercusuar Kupang (Timex, 29/04/2010) ”konsep yang efektif untuk meraih
hasil maksimal itu harus dimulai sejak kelas satu, bukan hanya pada kelas tiga.
Jadi sesuai dengan komitmen kita, maka seperti apa pun penilaian serta
pengawalan yang super ketat sekalipun, peserta UN kita tidak pernah takut atau
ragu”.
Kelima, satu hal yang juga
sebagai penentu kelulusan adalah guru–guru tidak menerapkan penguatan dalam kegiatan pembelajaran
yang dimana mendorong siswa meningkatkan usahanya dalam pembelajaranan. Clemen
Kollo mengatakan ”memberikan penguatan dalam kegiatan belajar mengajar
kelihatannya sederhana saja, yaitu tanda persetujuan guru terhadap tingkah laku
siswa, yang antara lain dinyatakan dalam bentuk kata-kata membenarkan,
kata-kata pujian, senyum atau anggukan...Pada hal memberikan penguatan dalam
kelas akan mendorong siswa meningkatkan usahanya dalam kegiatan pembelajaran
dan mengembangkan hasil usahanya” (modul Micro Teaching, hlm 29). Dalam
kulianya, Clemens Kollo juga pernah katakan ” banyak guru yang selalu menjaga
gengsinya, sehingga membuat banyak murid yang tidak merindukan kehadiran guru
dalam kelas. Dan hal ini yang membuat ketidaklulusan peserta didik semakin
meningkat”.
Keenam, bagi seluruh peserta
didik, jangan belajar karena mau ujian, tetapi belajar karena rasa ingin tahu
dan mau berubah. Jika belajar karena ujian, secara otomatis apa yang dipelajari
tidak akan teserap secara sempurna yang kemudian akan berakibat terhadap
kegagalan ujian. Ada satu pesan untukmu, para pelajar
”where is a will there is a way”. Dengan adanya kemamuan ingin tahu (belajar) pasti apa yang dicita-citakan
akan tercapai.
Dari dari beberapa solusi di
atas jika diterapkan, ketidaklulusan yang besar yang terjadi di NTT dapat
teratasi secara perlahan-lahan bahkan bisa secara drastis, jika para aktor juga,
dalam hal ini DPR, pemerintah, dan sekolah (guru, dan murid) benar-benar
menjalankan tugasnya masing-masing secara baik, tepat, dan bertanggungjawab.
Apalagi, menghayati hari pendidikan Nasional, 2 Mei 2010. Saya yakin, kesadaran
kita pasti lebih meningkat dari hari-hari kemarin, dan secara pasti pendidikan (UN)
mendatang akan lebih membanggakan dibandingkan sekarang. Dan hal ini akan
membuat para siswa berkata ”UN itu makanan ringan” dengan wajah yang penuh bahagia,
bukan dengan menangis dan aksi brutal bahkan memungut siswa-siswi yang stress
akibat ketidakpedulian pemerintah dan DPR. Selamat hari pendidikan! Merdeka!