May Be Yes, May Be No

(Sudah dipublikasikan di Timor Express, Rabu, 20 Januari 2010 & Media Informasi dan Komunikasi Undana, no.145/ Desember 2010)

(Oleh: Gusti Omkang Hingmane,S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, UNDANA)

Seseorang pemimpin akan selalu diingat oleh rakatnya selama kepemimpinannya itu dapat membahagiakan atau mensejahtrakan rakyatnya atau alias memerdekakan rakyatnya. Merdeka bukan berarti bebas dari bangsa penjajah, tetapi juga bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kemiskinan, bebas dari kedurhakaan orang-orang yang menggunakan kekuasaan untuk menindas masyarakat yang lemah, dan lain sebagainnya. Bercermin dari pernyataan ini timbul pertanyaan untuk kita bersama, apakah kita sesungguhnya telah merdeka dari hal-hal tersebut? Tentu saja belum. Albert Enstein berkata bahwa kebelummerdekaan ini akan selalu terjadi bukan karena kejahatan yang dilakukan oleh penjahat, tetapi akibat perbuatan kita yang membiarkan ketidakmerdekaan terjadi pada kita. Hal ini menunjukkan besar dosis dampak bahaya yang ditimbulkan oleh penjahat itu masih kalah dibandingkan dengan besarnya dampak kesalahan yang diperbuat oleh masyarakat yang mendiamkan, acuh-tak acuh, membiarkan bebas tanpa kontrol, atau bersikap masah bodoh terhadap kejahatan yang terjadi.
Hal yang disayangkan juga dalam kebelummerdekaan kita, terjadi pula pesimisme terhadap program yang telah dicetuskan oleh gubernur kita, dimana propinsi ini akan dijadikan propinsi ternak, propinsi jagung, propinsi koperasi, dan bahkan propinsi cendana. Secara pribadi, penulis angkat jempol kepada gubernur yang ber-liant karena dilihat dari segi korelasi program-program tersebut, ketiganya saling terkait dan mendukung satu sama lain. Dari hubungan ini, penulis ingin berandai-andai dengan memberikan ilustrasi seperti berikut: misalkan dalam dunia pendidikan, khususnya dalam suatu kelas dengan hadirnya tiga pengajar atau katakan empat pengajar sekaligus dengan bidangnya masing-masing, selama pengajarannya apa yang akan dialami atau dipelajari oleh pelajar yang berada dalam kelas tersebut? Tentu saja mereka akan merasa pusing alias kepada siapa mereka akan mendengar dan mengikuti pembelajaran yang diajarkan itu. Tentu ketiga atau keempat guru tersebut yang dalam penyampaikan materinya itu tidak dapat dipahami oleh pelajar yang berada dalam kelas tersebut. Yang secara otomatis keberlangsungan ujian pun akan dijawab salah alias ngawur, dan ini dalam dunia pendidikan disebut kegagalan atau ketidakberhasilan guru.
Hal demikian juga terjadi pada program yang diluncurkan oleh gubernur kepada rakyat NTT, dimana propinsi kita akan dijadikan sebagai propinsi ternak, propinsi jagung, propinsi koperasi dan ditambah dengan propinsi cendana. Hal tersebut menunjukkan ketidakjelasan mana yang menjadi leading sektor atau prioritas pertama dari ketiganya. Dan ini menimbulkan pakar ekonomi Unwira kita (Thomas Ola Langoday, dalam Prof. Frans Umbu Datta, Rektor Undana, 2009:222) pesimis, seperti ini yang utarakannya ”saya pesimis dengan program pemerintah NTT yang terlalu banyak. Banyak program yang dirancangkan ini akan berakibat kegiatan yang dilaksanakan tidak fokus. Karena tidak fokus, tidak tertutup kemungkinan semua program itu akan gagal”. Tentu hal ini akan membinggungkan masyarakat awam karena para pakar pun masih meragukan keberhasilan program-program tersebut
Hal yang dikuatirkan oleh penulis, seperti tidak adanya master plan ber-SDM yang bisa menjelaskan kepada rakyat NTT tentang program-program tersebut, para bawahan gubernur yang selalu terlihat tidak banyak bekerja, cuma menghabiskan waktu untuk berbicara tentang soal ini, yang berpikir cuma gubernur sedangkan pihak di bawahnya tidak merespon secara tepat apa yang gubernur maksudkan. NTT hanya bisa maju dalam masa kepemimpinan ini jika gubernur memiliki staf dan team work yang tanggap dan paham dengan apa yang dimaksudkan. Gubernur tidak salah dengan ide-ide besarnya itu, karena tugas seorang pemimpin adalah melahirkan ide-ide yang nantinya disahkan sebagai kebijakan. Namun, apa yang diidealkan oleh gubernur tak satu pun program yang sudah dijalankan, semua masih tinggal retorika kosong. Di mana, untuk kesuksesannya program-program ini masih dipertanyakan sejauh mana keberhasilannya dan ketidakberhasilannya atau penulis menamainya ”may be yes, may be no”, karena berbicara masalah masa depan tak seorang pun megetahui secara pasti, kita cuma dapat berprediksi dengan penuh kemungkinan yes atau no. Dari ketidakpastian ini penulis ingin katakan kepada pak gubernur bahwa belum terlambat, karena penulis takut kita jatuh dan tertimpah tangga lagi atau jangan sampai air  di batang leher baru kita ingin loloskan diri. Biasanya penyesalan itu selalu datang setelah kejadiannya usai.
Hal yang ingin penulis tawarkan adalah dana yang ada pada keempat program tersebut harus dipindahkan ke lembaga pendidikan kita. Karena pendidikan itu pasti, tidak akan sia-sia. Apalagi, pendidikan kita banyak gedung-gedungnya yang tidak layak dipakai, kurang bahkan tidak ada buku-buku yang sebagai sumber belajar, banyak kursi meja yang tidak layak dipakai, banyak anak-anak kita di NTT yang tidak bahkan belum menginjakkan kakinya di lembaga pendidikan dikarenakan masalah finansial, banyak tenaga guru honor kita yang belum bahkan kurang dalam pembayaran gaji mereka, banyak guru-guru kita yang belum menguasai komputer, apalagi sekarang pemerintah RI lagi gencar-gencar bekerja sama dengan China, dan Amerika Serikat dalam arus globalisasi sedangkan daerah kita banyak edukator yang belum mampu mengoperasikan komputer apalagi internet. Dan yang terlupakan selama ini adalah desentralisasi, dimana daerah mempunyai otoritas penuh untuk mengurus daerahnya sendiri-sendiri. Hal-hal ini yang menjadi alasan mengapa perlu kita perbaiki dan tingkatkan kualitas pendidikan kita, karena pendidikan di daerah ini sudah dianaktirikan padahal sebenarnya pendidikanlah yang memegang ujung tombak kejayaan daerah bahkan negara ini.
Sebenarnya kegagalan ujian nasional (walaupun hasil ujian diputuskan di pusat) harus dijadikan tamparan kita bersama betapa terdepannya  keterpurukan SDM kita di mata nasional bahkan internasional, dan ini harus dicari solusi yang terbaik untuk mengatasi hal-hal tersebut. Kita juga harus bermuka tebal terhadap propinsi-propinsi lain yang selalu mengedepankan pendidikan di atas segalanya (dapat dilihat pada kelulusan setiap tahun).
 Pendidikan  yang rendah akan mengakibatkan hilangnya demokrasi dan memperoleh kemiskinan. Hal ini sama dengan yang dikatakan oleh Amartya Kumar Sen bahwa masalah pokok yang dihadapai negara-negara berkembang adalah masalah politik, sosial dan bukan hanya sekedar masalah ekonomi. Ini artinya, negara-negara berkembang menghadapi dua masalah pokok yang berkaitan, yaitu demokrasi dan kemiskinan. Kemiskinan disebabkan karena ketiadaan demokrasi dan demokrasi tidak memberdayakan rakyat disebabkan karena rendahnya mutu pendidikan. Ini artinya, pendidikan kita mau tidak mau harus dibenahi kualitasnya.
          Seberlian apa pun ide-ide kita, tanpa orang yang berSDM kesemuannya itu akan sia-sia saja. Dan untuk menjadikan NTT sebagai gudangnya SDM maka perlunya gubernur memfokuskan matanya ke masalah-masalah pendidikan kita yang terdepan keterpurukan kualitasnya. Penulis yakin pak Gubernur kita paham karena beliau adalah jebolan FKIP, dan beliau mengetahui secara pasti zigzag pendidikan kita. Dan ide yang berlusin-lusin tentu menjadi sulit untuk dijalankan. Seperti kata Marx, pakar filosof sekaligus ekonom bahwa setiap gerakan riil adalah lebih penting daripada satu lusin program. Apalagi tanpa masyarakat yang berSDM semuanya akan sia-sia dan kita akan dikategori sebagai propinsi primitif, di mana berpikir primitif, berbuat primitif dan bahkan memelihara manusia primitif. Dan secara otomatis akan berdampak kepada ketergantungan kita pada daerah lain yang berSDM. Pertanyaannya, malukah kita terhadap keadaan seperti ini? Mari kita renungkan bersama-sama dan berbuat satu tindakan nyata, jangan satu lusin program agar tercapailah NTT yang berSDM! karena dalam pendidikan semuanya pasti, bukan may be yes, may be no. Sekali lagi pendidikan itu pasti menjayakan NTT. Merdeka!


Post a Comment (0)
Previous Post Next Post