(Oleh: Gusti Omkang Hingmane,S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris,
UNDANA)
Seseorang pemimpin
akan selalu diingat oleh rakatnya selama kepemimpinannya itu dapat membahagiakan
atau mensejahtrakan rakyatnya atau alias memerdekakan rakyatnya. Merdeka bukan berarti
bebas dari bangsa penjajah, tetapi juga bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan,
bebas dari kemiskinan, bebas dari kedurhakaan orang-orang yang menggunakan
kekuasaan untuk menindas masyarakat yang lemah, dan lain sebagainnya. Bercermin
dari pernyataan ini timbul pertanyaan untuk kita bersama, apakah kita
sesungguhnya telah merdeka dari hal-hal tersebut? Tentu saja belum. Albert
Enstein berkata bahwa kebelummerdekaan ini akan selalu terjadi bukan karena kejahatan
yang dilakukan oleh penjahat, tetapi akibat perbuatan kita yang membiarkan
ketidakmerdekaan terjadi pada kita. Hal ini menunjukkan besar dosis dampak
bahaya yang ditimbulkan oleh penjahat itu masih kalah dibandingkan dengan
besarnya dampak kesalahan yang diperbuat oleh masyarakat yang mendiamkan,
acuh-tak acuh, membiarkan bebas tanpa kontrol, atau bersikap masah bodoh
terhadap kejahatan yang terjadi.
Hal yang disayangkan
juga dalam kebelummerdekaan kita, terjadi pula pesimisme terhadap program yang
telah dicetuskan oleh gubernur kita, dimana propinsi ini akan dijadikan
propinsi ternak, propinsi jagung, propinsi koperasi, dan bahkan propinsi
cendana. Secara pribadi, penulis angkat jempol kepada gubernur
yang ber-liant karena dilihat dari segi korelasi program-program tersebut,
ketiganya saling terkait dan mendukung satu sama lain. Dari hubungan ini,
penulis ingin berandai-andai dengan memberikan ilustrasi seperti berikut:
misalkan dalam dunia pendidikan, khususnya dalam suatu kelas dengan hadirnya
tiga pengajar atau katakan empat pengajar sekaligus dengan bidangnya
masing-masing, selama pengajarannya apa yang akan dialami atau dipelajari oleh
pelajar yang berada dalam kelas tersebut? Tentu saja mereka akan merasa pusing
alias kepada siapa mereka akan mendengar dan mengikuti pembelajaran yang
diajarkan itu. Tentu ketiga atau keempat guru tersebut yang dalam penyampaikan
materinya itu tidak dapat dipahami oleh pelajar yang berada dalam kelas
tersebut. Yang secara otomatis keberlangsungan ujian pun akan dijawab salah
alias ngawur, dan ini dalam dunia pendidikan disebut kegagalan atau
ketidakberhasilan guru.
Hal demikian juga terjadi pada program yang diluncurkan oleh gubernur kepada
rakyat NTT, dimana propinsi kita akan dijadikan sebagai propinsi ternak,
propinsi jagung, propinsi koperasi dan ditambah dengan propinsi cendana. Hal
tersebut menunjukkan ketidakjelasan mana yang menjadi leading sektor atau
prioritas pertama dari ketiganya. Dan ini menimbulkan pakar ekonomi Unwira kita
(Thomas Ola Langoday, dalam Prof. Frans Umbu Datta, Rektor Undana, 2009:222)
pesimis, seperti ini yang utarakannya ”saya
pesimis dengan program pemerintah NTT yang terlalu banyak. Banyak program yang
dirancangkan ini akan berakibat kegiatan yang dilaksanakan tidak fokus. Karena
tidak fokus, tidak tertutup kemungkinan semua program itu akan gagal”. Tentu
hal ini akan membinggungkan masyarakat awam karena para pakar pun masih
meragukan keberhasilan program-program tersebut
Hal yang dikuatirkan oleh penulis, seperti tidak adanya master plan ber-SDM
yang bisa menjelaskan kepada rakyat NTT tentang program-program tersebut, para
bawahan gubernur yang selalu terlihat tidak banyak bekerja, cuma menghabiskan
waktu untuk berbicara tentang soal ini, yang berpikir cuma gubernur sedangkan
pihak di bawahnya tidak merespon secara tepat apa yang gubernur maksudkan. NTT
hanya bisa maju dalam masa kepemimpinan ini jika gubernur memiliki staf dan
team work yang tanggap dan paham dengan apa yang dimaksudkan. Gubernur tidak
salah dengan ide-ide besarnya itu, karena tugas seorang pemimpin adalah
melahirkan ide-ide yang nantinya disahkan sebagai kebijakan. Namun, apa yang
diidealkan oleh gubernur tak satu pun program yang sudah dijalankan, semua
masih tinggal retorika kosong. Di mana, untuk kesuksesannya program-program ini
masih dipertanyakan sejauh mana keberhasilannya dan ketidakberhasilannya atau
penulis menamainya ”may be yes, may be no”, karena berbicara masalah masa depan
tak seorang pun megetahui secara pasti, kita cuma dapat berprediksi dengan
penuh kemungkinan yes atau no. Dari ketidakpastian ini penulis ingin katakan
kepada pak gubernur bahwa ”belum
terlambat”, karena penulis takut
kita jatuh dan tertimpah tangga lagi atau jangan sampai air di batang leher baru kita ingin loloskan diri.
Biasanya penyesalan itu selalu datang setelah kejadiannya usai.
Hal yang ingin penulis tawarkan adalah dana yang ada pada keempat program
tersebut harus dipindahkan ke lembaga pendidikan kita. Karena pendidikan itu
pasti, tidak akan sia-sia. Apalagi, pendidikan kita banyak gedung-gedungnya
yang tidak layak dipakai, kurang bahkan tidak ada buku-buku yang sebagai sumber
belajar, banyak kursi meja yang tidak layak dipakai, banyak anak-anak kita di
NTT yang tidak bahkan belum menginjakkan kakinya di lembaga pendidikan
dikarenakan masalah finansial, banyak tenaga guru honor kita yang belum bahkan
kurang dalam pembayaran gaji mereka, banyak guru-guru kita yang belum menguasai
komputer, apalagi sekarang pemerintah RI lagi gencar-gencar bekerja sama dengan
China, dan Amerika Serikat dalam arus globalisasi sedangkan daerah kita banyak
edukator yang belum mampu mengoperasikan komputer apalagi internet. Dan yang
terlupakan selama ini adalah desentralisasi,
dimana daerah mempunyai otoritas penuh untuk mengurus daerahnya
sendiri-sendiri. Hal-hal ini yang menjadi alasan mengapa perlu kita perbaiki dan
tingkatkan kualitas pendidikan kita, karena pendidikan di daerah ini sudah
dianaktirikan padahal sebenarnya pendidikanlah yang memegang ujung tombak
kejayaan daerah bahkan negara ini.
Sebenarnya kegagalan ujian nasional (walaupun hasil ujian diputuskan di
pusat) harus dijadikan tamparan kita bersama betapa terdepannya keterpurukan SDM kita di mata nasional bahkan
internasional, dan ini harus dicari solusi yang terbaik untuk mengatasi hal-hal
tersebut. Kita juga harus bermuka tebal terhadap propinsi-propinsi lain yang
selalu mengedepankan pendidikan di atas segalanya (dapat dilihat pada kelulusan
setiap tahun).
Pendidikan yang rendah akan mengakibatkan hilangnya
demokrasi dan memperoleh kemiskinan. Hal ini sama dengan yang dikatakan oleh
Amartya Kumar Sen bahwa masalah pokok yang dihadapai negara-negara berkembang adalah
masalah politik, sosial dan bukan hanya sekedar masalah ekonomi. Ini artinya,
negara-negara berkembang menghadapi dua masalah pokok yang berkaitan, yaitu
demokrasi dan kemiskinan. Kemiskinan disebabkan karena ketiadaan demokrasi dan
demokrasi tidak memberdayakan rakyat disebabkan karena rendahnya mutu
pendidikan. Ini artinya, pendidikan kita mau tidak mau harus dibenahi
kualitasnya.
Seberlian apa pun ide-ide kita, tanpa
orang yang berSDM kesemuannya itu akan sia-sia saja. Dan untuk menjadikan NTT
sebagai gudangnya SDM maka perlunya gubernur memfokuskan matanya ke masalah-masalah
pendidikan kita yang terdepan keterpurukan kualitasnya. Penulis yakin pak
Gubernur kita paham karena beliau adalah jebolan FKIP, dan beliau mengetahui
secara pasti zigzag pendidikan kita. Dan ide yang berlusin-lusin tentu menjadi
sulit untuk dijalankan. Seperti kata Marx, pakar filosof sekaligus ekonom bahwa
setiap gerakan riil adalah lebih penting daripada satu lusin program. Apalagi tanpa masyarakat yang berSDM
semuanya akan sia-sia dan kita akan dikategori sebagai propinsi primitif, di
mana berpikir primitif, berbuat primitif dan bahkan memelihara manusia
primitif. Dan secara otomatis akan berdampak kepada ketergantungan kita pada
daerah lain yang berSDM. Pertanyaannya, malukah kita terhadap keadaan seperti
ini? Mari kita renungkan bersama-sama dan berbuat satu tindakan nyata, jangan
satu lusin program agar tercapailah NTT yang berSDM! karena dalam pendidikan
semuanya pasti, bukan may be yes, may be
no. Sekali lagi pendidikan itu pasti menjayakan NTT. Merdeka!