”Jebloknya prosentase kelulusan di NTT
saat ini salah satu sebabnya adalah output dari Perguruan Tinggi sangat rendah,
khusunya sarjana pendidikan.... bagaimana mau mengajar siswa kalau para guru
yang lulus PNS tahun ini lulus dengan nilai yang sangat rendah”, kata Walikota
Kupang, Daniel Adoe (Aktualita-ntt, Mei, edisi 20-27-2010).
Mendengar
atau membaca pernyataan di atas, banyak di antara kita yang mungkin kebakaran
jenggot, atau bahkan bermuka tebal, khususnya para pendidik yang berada di Fakultas
Keguruan. Tetapi sebenarnya, ini adalah cambukan, dan bahan refleksi untuk
kita. Karena Fakultas Keguruanlah yang melahirkan para sarjana pendidikan (para
guru), yang kemudian mengajar di sekolah-sekolah. Dari pada itu, muncullah
pertanyaan-pertanyaan, apakah benar Perguruan Tinggi (Fakultas Keguruan) biang
keladi dari jebloknya prosentase kelulusan di NTT ini? Apakah yang telah kita
lakukan selama ini terhadap calon guru di Fakultas Keguruan? Dan, apa yang seharusnya
segera dilakukan untuk memperbaiki mutu pendidikan yang ada di Perguruan Tinggi,
khususnya Fakultas Keguruan, agar output-nya dapat memanusiakan manusia dan
tidak mengecewakan masyarakat, dan khususnya para pejabat seperti pak Daniel
Adoe ?
Berangkat dari pernyataan Daniel
Adoe di atas, memang tidak dapat dipungkiri dan tidak dapat dihindari bahwa
para guru selalu dikambinghitamkan, jika kelulusan sangat merosot. Ketika
dikambinghitamkan para guru yang ada di bangku pendidikan, seperti TK, SD, SMP,
SMA, bahkan PT juga saling menyalahkan. Dalam pada itu, kata pantas atau memang ikutserta dibunyikan
dalam lingkungan pendidikan, yang dikenal dengan lingkaran setan dunia
pendidikan. Sebagai contoh, ketika seorang anak yang tamatannya dari suatu SD
atau SMP tertentu ketika melanjutkan pendidikannya di jenjang yang lebih tinggi
lagi, dan dalam studinya tersebut, ditanya oleh seorang guru dari suatu mata
pelajaran tertentu, baik atau buruk dari jawaban yang diberikan pasti mendapat
tanggapan dari guru tersebut, dan jawabanya pasti berbunyi pantas atau memang. Dimana ada penilaian yang baik dan buruk yang menyertainya, baik
itu menggunakan majas ironis atau majas hiperbola.
Pendidik di Fakultas Keguruan
Saya sering membayangkan
ketika mengikuti mata kuliah Micro Teaching yang diasuh oleh Dr. Clemens Kollo,
MAT., dan membandingkan cara mengajar yang diajarkan oleh beliau dengan dosen/guru
saya yang lain, baik
itu di SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi, beliau sungguh sangat
profesional dalam mengajar, mengapa? Karena saat beliau mengajar, lantai yang
begitu kotor pun beliau duduk di atasnya. Beliau sangat tidak merasa gengsi
sedikitpun. Ketika beliau mengajar,
beliau menggunakan berbagai cara dengan berbagai variasi. Kita yang awalnya malas belajar
dibuatnya menjadi senang, tertarik, bahkan sampai-sampai lupa waktu untuk
matakuliah berikutnya.
Dari gambaran mengajar yang
diberikan di atas, Dr. Clemens Kollo, MAT mengajarkan kepada kita, baik itu
yang sudah guru atau dosen, maupun calon guru, agar benar-benar menerapkan cara
mengajar yang baik, benar, menarik, tidak membosankan, bahkan membuat para
peserta didik selalu rindu untuk belajar, selalu rindu untuk pergi ke kampus
atau sekolah, dan selalu rindu guru/dosen. Dan ketika guru/dosen tidak masuk, mereka merasa kehilangan sesuatu. Inilah tiga kunci filosofi untuk meningkatkan qualitas yang baik.
Hal yang senada juga, pernah
disampaikan oleh Prof. Mans Mandaru (dalam kuliahnya) bahwa seorang guru/dosen
dikatakan tidak berhasil dalam mengajarnya ketika usainya kegiatan belajar
mengajar, para peserta didik berteriak hore, atau ekspresi yang sangat bahagia
ketimbang saat belajar mengajar. Karena
dalam pada itu, di mata
peserta didik, mereka telah keluar dari penjara, karena cara mengajar yang
sangat kurang ideal di mata peserta didik. Cara mengajar dosen/guru yang sangat membosankan. Bersambungan dengan hal
di atas, ada seorang teman saya pernah berkata bahwa soal mengajar semua orang
bisa mengajar, tetapi untuk membuat peserta didik itu mengerti, atau senang atau
menggairahkan dibutuhkan orang-orang tertentu.
Di samping itu, Clemens Kollo dalam
kuliahnya mengatakan bahwa cara mengajar yang harus diterapkan oleh semua dosen/guru
dari setiap matakuliah, yakni misalkan matakuliah yang 2 SKS, berarti harus
tiga kali pertemuan. Maksudnya,
100 menit untuk tatap muka (antara
guru/dosen dengan peserta didik), 100 menit untuk tugas terstruktur (khusus untuk peserta didik), dan 100 menit untuk tugas mandiri (khusus untuk peserta didik). Karena menurut beliau, kebanyakan dalam proses belajar mengajar, para
pendidik menggunakan waktu seluruhnya
hanya untuk 2 SKS untuk tatap muka.
Di samping itu pula, cara mengajar yang masih
menjadi tradisi dalam dunia pendidikan adalah, peserta didik masih dianjurkan membaca
(hasil belajar hanya 10%),dan jika ditambah dengan mendengar, yang hasil
belajarnya menjadi 20%, dan jika ditambah lagi dengan melihat (melihat vidio atau
melihat demo) maka hasilnya hanya 30%. Dan jika ditambah lagi dengan diskusi,
hasilnya akan menjadi 50%, dan jika ditambah lagi presentasi, hasilnya akan
menjadi 75%, dan jika ditambah lagi dengan stimulus dan role play/praktek yang
hasilnya akan menjadi 80%, dan ditambah lagi dengan melakukan hal nyata, yang
hasilnya akan menjadi 90% (berdasarkan Teori Dale’s Cone of Experience ). Itulah
belajar abstrak ke belajar konkrit yang secara otomatis proses belajar mengajar
yang dapat menghasilkan sesuatu, karena melakukan sesuatu sampai hal yang
konkrit, dimana peserta didik juga dilibatkan langsung. Prof Mans Mandaru pun
senada (dalam kuliahnya) dengan pernyataan tersebut, beliau mengatakan bahwa
“tell me so I remember, teach me so I know, and involve me so I learn”
Calon Guru di Fakultas Keguruan
Banyak di antara kita (calon
guru) yang merasa senang bahkan bangga dengan nilai yang tinggi. Tetapi sayang,
kalau nilai berbicara lain dengan otak (intelektualitas).
Sebagai contoh, nilai yang diberikan oleh guru atau dosen yang tanpa diketahui
ujung pohonnya, dari mana datangnya nilai tersebut, dan pantas dikatakan ”nilai
misterius” karena tugas dan hasil
ujiannya mahasiswa/i tidak
dikembalikan, baik itu tugas harian, mid, maupun final. Karena menurut saya, itu adalah cermin buat calon guru dalam membangun
intelektualitasnya. Namun, hal ini yang paling disukai oleh banyak
mahasiswa. Apalagi, nilai yang diberikan adalah 4 (A). Dan jika mendapat nilai
1 (D), atau 2 (C), maka banyak mahasiswa/i yang kebanyakan pergi ke rumah dosen
untuk mengemis nilai seperti pengemis.
Pertanyaannya adalah, apakah
kita kuliah ini hanya untuk mencari nilai? Atau mencari pengetahuan? Inilah
yang perlu kita hayati bersama dan aplikasikan ke dalam kehidupan nyata. Dalam
pada itu, para mahasiswa harus lebih kritis, bukan membeo apa yang disampaikan
oleh guru atau dosen sebagai kebenaran yang mutlak. Jika salah katakan salah,
jia benar katakan benar. ”Namanya saja manusia” begitulah kata yang pantas
untuk dijadikan sebagai patokan kita untuk berpikir kritis, apalagi UUD telah
menjamin setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya. Artinya, setiap orang
yang mengajar atau berbicara tidak selamanya benar melulu. Dan inilah tempat
buat kaum intelektual menjalankan keintelektualannya, bukan membeo pada apa
yang salah. Kampus seharusnya dijadikan tempat untuk brainstorming
antara guru/dosen dengan mahasiswa, atau mahasiswa dengan mahasiswa. Bukan dosen/guru yang menjadi sumber pengetahuan
satu-satunya. Dan pendidik jangan menggunakan otoritasnya untuk menekankan cara
hidup berdemokrasi!
Di samping itu pula, hal yang selama
ini telah membudaya di kalangan mahasiswa adalah, ketika ada seorang teman yang
bertanya, kita selalu identikkan dengan orang yang bodoh. Dalam kacamata saya,
hal ini yang perlu diluruskan bahwa orang yang bertanya bukan berarti mereka
bodoh, tetapi mereka menganalisis atau merasa asing dengan setiap pernyataan
yang disampaikan oleh guru/dosen. Dan jika mereka bertanya, berarti mereka hanya bodoh sesaat saja.
Sedangkan, yang menertawakan adalah mereka yang menertawakan kebodohan mereka.
Mereka tanpa menganalisis setiap kata atau pernyataan yang disampaikan oleh
dosen/guru. Ketika kita menganalisis, itulah salah satu cara terbaik (vitamin)
untuk meningkatkan serta mengaktifkan otak kita.
Dalam pada itu, satu hal yang
sangat menyedihkan, adalah lembaga pendidikan tidak peduli dengan kehidupan
pelajar yang sebenarnya. Dimana lembaga pendidikan menuntut para pelajarnya
untuk menguasai semua bidang studi. Inilah penjara buat pelajar, karena semua
pelajar yang ada tidak mempunyai lebih dari satu talenta. Bagaimana pelajar
bisa berkembang, jika mata pelajaran yang tidak disukai juga dituntut harus
mengnguasainya. Laksana pungguk merindukan bulan. Mata pelajaran itu akan
mubasir walaupun dituntut harus oleh pendidik. Agar, pendidikan tidak menjadi
penjara buat para peserta didik, maka yang harus dilakukan adalah memberi
kesempatan peserta didik untuk mengembangkan talentanya. Jika tidak mereka
hanya terpaksa karena lingkungan meminta ijasah, mau tidak mau, terpaksa harus
mau. Maka dari itu, sebagai seorang pendidik, kita pun harus memahami ”siapa
kita sebenarnya”, dimana kesempurnaan tidak ada pada kita semua. Dan jika
peserta didik yang mengikuti mata kuliah tertentu lalu diminta untuk
menguasainya, tetapi tidak dapat dikuasainya, saya pikir pendidik harus
memahami, jangan memaksa mereka untuk mengikuti apa yang pendidik maksudkan.
Hal itu senada
dengan Thomas Jeffereson (dalam Har Tilaar, 2003) bahwa setiap manusia
dikaruniai dengan kemampuan intelektual yang
berbeda. Dan itu merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan bersama manusia. Dalam kaitan dengan pendidikan, maka
sistem pendidikan harus memberikan tempat untuk perkembangan bakat dan
intelektual yang berbeda tersebut. Ini, tentunya dibutuhkan suatu seleksi dan
evaluasi mengenai kemampuan dan bakat mereka setelah pendidikan dasar.
Senada
dengan hal di atas, Prof. Felix Tans (dalam makalahnya ”Sistem Pendidikan
Nasional Indonesia: Apa yang Salah?”) mengatakan bahwa seorang peserta didik
yang berminat dan/atau berbakat dalam suatu bidang, biarlah dia belajar itu
saja, jangan paksakan juga untuk belajar yang lain. Inilah yang menurut Prof. Felix
Tans disebut pembelajaran berdasarkan kebutuhan belajar (learning needs), minat
(interst), dan bakat (talent) peserta didik. Prof. Felix Tans juga katakan,
supaya berhasil model pembelajaran ini, peserta didik dengan bantuan
guru/dosennya perlu menanamkan dalam dirinya imajinasi dan oto-sugesti yang
kuat, bahwa mereka bisa kalau mereka belajar lebih rajin, punya tekad yang
kuat, dan disiplin yang tinggi, pasti berhasil dalam bidang apapun.
Hal seperti
ini juga diilustrasikan oleh kak Seto dalam buku dongengnya (dalam opininya
Yeverson di Timex, 23-06-2009) ”sebutlah sebuah kisah di hutan belantara yang
lebat, di sana akan terselenggarakan sebuah sekolah untuk para binatang yang
ada dalam hutan tersebut. Ada pun mata pelajaran pokok yang akan diajarkan
adalah berlari, memanjat, terbang, dan berenang. Dengan demikian, semua murid
yang berprestasi diharapkan mampu menguasai keempat mata pelajran pokok di
atas. Namun bagaimana kenyataan di lapangan mari kita lihat: Si kucing hutan
amat pandai dalam mata pelajaran berlari dan memanjat, namun sayangnya ia tidak
pandai/kesulitan dalam mata pelajaran berenang dan terbang, berkali-kali coba
pun tetap mengalami kegagalan. Berkali-kali ia memanjat pohon yang tinggi
kemudian meloncat agar bisa terbang seperti burung yang terbang namun tetap
gagal dan sebagai akibatnya kucing terjatuh dan terguling-guling di tanah
dengan mengeong kesakitan.lain halnya dengan si bebek, ia cukup mahir dalam
berenang. Terbang pun untuk jarak yang tidak terlalu jauh masih mampu
melakukan. Namun, berlari dengan cepat mengalami kesulitan, apalagi untuk
memanjat”
Dari semua penomena
yang di atas, semuanya dapat teratasi, apabila guru/dosen benar-benar
menjalankan tugasnya dengan baik. Tugas yang baik itu seperti, mengajar yang
menyenangkan para peserta didik, sehingga mereka benar-benar rindu pergi ke
sekolah/kampus, rindu guru/dosen, dan yang secara otomatis mereka akan terlibat
dan terus termotivasi untuk belajar. Di samping itu pula, kalau benar-benar
Perguruan Tinggi, dalam hal ini Fakultas Keguruan mau menciptakan calon guru
yang ber-SDM maka salah satu cara yang selama ini telah membudaya adalah tidak
dikembalikan hasil kerja calon guru karena dalam benak saya, pasti tidak
diperiksa. Bagaimana calon guru dapat menilai akan potensi dirinya jika hal ini
(tidak ada pengembalian hasil kerja calon guru) terus terjadi. Dengan pengembalian
hasil kerja calon guru disertai dengan pengkoreksian, secara otomatis, Universitas
bukan menghasilkan ijazah saja tetapi disertai dengan kualitas yang handal.
Dalam pada itu, para mahasiswa akan terus tertantang untuk belajar dan saling
bersaing dalam ranah intelektualitas.
Dan yang terakhir, buat pak Daniel Adoe,
jangan hanya menyalahkan Perguruan Tinggi (Fakultas Keguruan) saja dalam
menentukan kelulusan, tetapi harus melihat ke bawah. Banyak tenaga guru yang
bukan berasal dari Fakultas Keguruan. Sebagai contoh, adanya program akta
mengajar. Mereka-mereka yang mengikuti akta mengajar itu hanya menikmati
ujungnya saja, dan mereka itu sebenarnya masuk jadi guru karena tidak ada
pilihan lagi. Mereka itu terpaksa. Oleh karena itu, program akta mengajar harus
segera ditutup. Di samping itu pula, adakan perombakan besar-besaran dong,
kalau ternyata sekolah-sekolah tertentu selalu mandul tingkat kelulusannya. Dan
posisikan orang-orang yang benar-benar berkompoten dalam dunia pendidikan.
Jangan memposisikan orang-orang yang sejalan dengan bapak atau pengikut bapak,
apalagi mereka yang di posisikan itu tidak berkompoten dalam mengurus pendidikan!
Mari kita jangan saling menyalahkan, tetapi bahu-membahu membangun pendidikan
NTT! Merdeka!