FKIP VERSUS KKN

(Sebuah Catatan untuk Para Petinggi Universitas)
Sudah dipublikasikan di Media Informasi dan Komunikasi Undana, no.146/ Januari 2011

(Oleh: Gusti O. Hingmane,S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, Undana)

Kuliah Kerja Nyata(KKN) merupakan salah satu mata kuliah yang harus ditempuh mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studinya di Perguruan Tinggi. Suka atau tidak suka mereka harus berbaur dengan masyarakat, dalam rangka mengamalkan ilmunya dan juga belajar banyak tentang hidup bermasyarakat. Program KKN ini juga merupakan salah satu perwujudan Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu yang berhubungan dengan peran serta Perguruan Tinggi dalam rangka ikut membina dan memberdayakan masyarakat.   
Memang benar kalau para petinggi universitas kita berargumen seperti di atas, tetapi semua fakultas tidak harus diterjunkan ke masyarakat yang sebenarnya kan?  Hal tersebut juga dikomentari oleh Bibin Rubini (Rektor Universitas Pakuan Bogor), “Saat ini hanya sedikit perguruan tinggi dengan jurusan-jurusan tertentu yang memasukkan program kuliah kerja nyata (KKN) sebagai bagian dari tugas yang harus dipenuhi mahasiswa" (Jurnalnet.com (Jakarta))
Dari statement di atas dapat dikatakan bahwa, seharusnya perguruan tinggi tidak memasukkan KKN sebagai suatu program yang harus dipenuhi oleh mahasiswa di semua fakultas. Masalahnya, dalam KKN itu sendiri, dalam kacamata saya, terjadi kepincangan-kepincangan yang perlu segera dibenahi, seperti: Pertama, disaat KKN, mahasiswa sendiri kurang membaur dengan masyarakat setempat. Dalam pada itu, kebanyakan mereka bertempat tinggal di rumah kepala desa, petinggi atau perangkat desa, sehingga kegiatan rutin mereka hanyalah kongkow-kongkow di posko. Kalaupun ada pembinaan kepada masyarakat sifatnya itu pun hanyalah permintaan dari masyarakat sehingga para mahasiswa itu sepertinya kurang mempunyai persiapan yang matang dalam terjun ke masyarakat. Kegiatan mereka yang ada kayaknya seperti peneliti  saja, yaitu mencari data dari masyarakat hanya sebagai bahan laporan untuk mencari nilai, sehingga sasaran mereka ke masyarakat kurang menyentuh.
Kedua, KKN sekarang, para mahasiswa kebanyakan melakukan proyek fisik, seperti papan atribut desa sehingga dapat dilihat jika ada desa yang papan atribut desanya baru, itulah kenang-kenangan dari mahasiswa yang KKN. Bahkan yang kadang membuat jengkel warga desa, banyak mahasiswa yang mengadakan KKN tanpa kegiatan sama sekali, mereka hanya absen di Posko, duduk-duduk, ngobrol dengan sesama teman bahkan banyak pula yang mangkir tanpa turun ke masyarakat.
Ketiga, perguruan tinggi tidak mengadakan studi kelayakan terhadap desa/kelurahan yang seharusnya menjadi sasarannya KKN itu sendiri. Misalnya, memberdayakan usaha kecil di desa, pembangunan fisik bagi masyarakat, sarana prasarana atau pembinaan masyarakat. Sehingga para mahasiswa yang turun ke masyarakat itu dapat memberikan kontribusinya. Sehingga apa yang diidealkan dapat tercapai.

KKN Bagi Mahasiswa FKIP
Bagi mahasiswa FKIP, kehadiran KKN (Kuliah Kerja Nyata) ini tidak pantas. Mengapa? Pertama, Karena mahasiswa FKIP yang adalah calon pendidik juga diharuskan kerja hal-hal yang bukan bidangnya. Katakanlah, mereka memegang skop, memegang sendok campuran, mengangkat semen, mengangkat pasir, membuat pagar, membuat monumen, membuat papan atribut desa atau kelurahan, dan lain sebagainya. Bukannya mahasiswa FKIP tidak dapat melakukan akan hal tersebut, tetapi permasalahannya ialah mahasisiwa FKIP di-KKN-kan di tempat yang tidak pantas. Hal yang tidak pantas tersebut dengan ditunjukkan ketidaksingkronisan antara apa yang dipelajari di perguruan tinggi dengan apa yang dipraktekkan di masyarakat.
Kedua, dengan adanya KKN ini, membuat mahasiswa FKIP harus tetap berada di kampus lagi (belum dapat diwisudakan) walaupun matakuliahnya telah usai. Karena kenyataan membuktikkan mahasiswa FKIP tidak ada yang wisuda semester 8 (delapan) tepat. Dan kalau kita melihat di fakultas lain, mereka hanya KKN saja tanpa ada PPL (Program Pengalaman Lapangan). Mereka wisuda dengan cepat. Bukannya mahasiswa FKIP bodoh, tetapi diikat oleh berbagai regulasi/program yang sangat padat.
KKN atau Kuliah Kerja Nyata bagi mahasiswa FKIP adalah, apakah turun di kelurahan atau desa-desa lalu membanting tulang habis-habisan? Jika ya, hal ini yang benar-benar sangat keliru! Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apa yang mau dinyatakan dalam perkuliahannya di masyarakat. Masalahnya mahasiswa FKIP, tugas yang harus dilakukan adalah memanusiakan manusia, bukan membangun bangunan, membuat pagar, membuat  jalan, monumen, papan atribut suatu kantor, dan lain sebagainya. Hal yang seharusnya dilakukan oleh mahasiswa FKIP seperti KKN ini dalah PPL (Program Pengalaman Lapangan), dimana mahasiswa FKIP mempraktekkan apa yang dipelajari di perguruan tinggi di dunia nyata. Karena apa yang dipelajari di perguruan tinggi masih abstrak. Yang realnya ialah PPL atau prakterk mengajar di sekolah-sekolah. Itulah KKN yang sebenarnya bagi mahassiswa FKIP.
Di saat PPL itu sendiri saja, mahasiswa FKIP juga diikat regulasi yang begitu ketat. Hal yang selalu ditemui ialah, mahasiswa FKIP diperbolehkan PPL, jika matakuliah yang diprogram cuma dua (2) matakuliah. Jika mahasiswa memprogram matakuliah lebih dari dua (2) maka tidak diperkenankan untuk turun PPL. Inilah sumber masalah bagi mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Di samping hal di atas, matakuliah PPL yang hanya 4 SKS saja para mahasiswa diharuskan berada di sekolah setiap hari selama empat bulan. Pulang pun harus pada saat jam pulang. Hal ini perlu dicarikan solusi! Para petinggi universitas jangan cuma membuat kebijakan lalu berpangkutangan seolah-olah tidak ada apa-apa. Pertanyaan yang seharusnya dipertanyakan bersama-sama ialah, apakah yang di-PPL-kan ini tidak cukup atau tidak layak disebut Kuliah Kerja Nyata? Apakah KKN itu menunjang profesionalnya calon guru?  Pertanyaan ini yang seharusnya dihayati dan dijawab oleh para petinggi universitas.
Berdasarkkan beberapa masalah di atas, baik itu yang berhubungan dengan KKN maupun PPL dapat di katakan bahwa, memang benar apa yang yang dipelajari di perguruan tinggi oleh mahasiswa FKIP, yang sangat berhubungan dengan bidangnya yang dipraktetkan adalah cuma PPL saja, karena dapat meningkatkan dirinya sebagi guru yang professional. Dan inilah yang perlu dipertahankan bagi mahasiswa FKIP karena masyarakatnya ialah siswa/siswi di sekolah, sedangkan KKN seharusnyya ditiadakan bagi mahasiswa FKIP. Hal ini diberikan ke fakultas non keguruan.
Apalagi beberapa fenomena yang mewarnai KKN seperti hal di atas, ini seharusnya membuka mata para petinggi universitas. Dan dari hal di atas, diharapkan para petinggi dapat merubah kebijakan yang benar-benar memihak kepada masyarakat dan mahasiswa.  Bukan mengorbankan salah satu, atau bahkan keduanya. Merdeka!







2 Comments

Post a Comment
Previous Post Next Post