(Oleh: Gusti O. Hingmane, S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, UNDANA )
Guru honorer, atau guru kontrak, atau istilah lainnya adalah guru non-PNS, sebenarnya memuat suatu kesamaan yakni mereka yang menyandang status itu hanya menerima penghargaan finansial kecil-kecilan atau kesejahtraan setengah-setengah. Finansial yang tiada artinya dalam sebulan saat kita berada di zaman sekarang ini, ”untuk beli ini dan itu susah. Uang itu sepertinya hanya untuk mempertahankan hidup” (Timex, 10-12-2009). Walaupun, bersebrangan dengan guru sebagai panggilan jiwa. Tetapi, coba anda bayangkan anggota DPR yang selalu menuntut gaji 15 juta setiap bulan, ditambah dengan mobil mewah, dibuatkan rumah mewah, leptop yang harganya melangit, dan baru-baru ini para anggota dewan lag-lagi meminta jatah, pernakah tuntutan tersebut dikaitkan dengan panggilan hidupnya? Apalagi kerjaan mereka tidak memanusiakan manusia, tetapi menjilat hak-hak masyarakat kecil. Apakah ini yang disebut fair dalam membangun Indonesia?
”Malang benar nasib guru di
kabupaten Manggarai Barat, khususnya guru yang non-PNS. Ditenggarai di antara
mereka sampai sekarang masih ada yang digaji hanya 300 ribu per bulan, jauh di
bawah UMP NTT” (Timex, 10-12-2009: 5). Dan saya pikir, tidak hanya di Manggarai
Barat saja, di kota Kupang pun masih banyak guru non-PNS yang diperlakukan
seperti itu (cerita dari seorang guru honorer). Sungguh sangat menyedihkan, apalagi
tanpa tunjangan keluarga, tanpa gaji 13, tanpa dana pensiun. Mereka yang
mengajar 24 jam pelajaran sebulan paralel akan membawa pulang honor Rp 300
ribu, jika sekolah tempatanya mengajar menghargai per jam Rp 10 ribu rupiah. Honorarium
sebulan guru non-PNS tersebut hampir sama harganya dengan upah tukang batu yang
bekerja dari hari senin sampai hari sabtu dalam seminggu.
Saya sangat tidak setuju
menyebut penghargaan untuk para guru non-PNS sebagai gaji, karena gaji memuat
berbagai tunjangan, dan hanya diberikan kepada guru tetap (guru PNS), baik
dalam dinas yayasan swasta maupun pemerintah. Pembayaran kecil-kecilan ini saja
masih dibayar setengah-setengah atau dibayar
semampunya, seadanya, atau semaunya sekolah tempat mereka bekerja. Ada yang
dibayar berdasarkan kemampuan komite sekolah, berdasarkan uluran belas kasih
orang tua siswa, berdasarkan keuangan yayasan, berdasarkan hitungan jumlah jam
mengajar, atau berdasarkan upah minimum propinsi layaknya standar untuk buruh.
Bahkan, pembayaran untuk mereka pun bisa tidak jelas kapan terjadi. Apalagi,
gaji para guru yang PNS yang terlambat dalam pembayaran gaji yang terjadi
baru-baru di Kupang ini, yang mengundang protes habis-habisan. Dalam pada itu,
ada satu pertantanyaan, bagaimana dengan gaji tenaga guru yang bukan PNS pasti
dilipatgandakan keterlambatannya alias tidak penting, kan?
Guru non-PNS sebenarnya
menjadi bagian terpenting juga dalam jagat pendidikan dasar dan menengah di NTT
ini, namun diingat ketika akan ada perekrutan pegawai negeri. Itu pun sebatas
harapan agar mereka diprioritaskan. Akan tetapi, sebagaian besar dari mereka
tetap tersaruk-saruk di posisinya sampai melewati batas usia penerimaan pegawai
negeri, lebih dari 20 atau 25 tahun terus sebagai guru non-PNS. Meski sudah
teruji mengajar puluhan tahun, tetapi banyak dari mereka tidak diloloskan untuk
menyandang status Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sungguh sangat memprihatinkan!
Keberadaan para guru non-PNS
di atas sangat membantu dan dibutuhkan oleh sekolah-sekolah untuk tetap
melangsungkan kegiatan pendidikan. Pendidikan untuk memanusiakan manusia. Tidak
jarang mereka mengajar penuh dan masih ditambahkan lagi tugas-tugas mendampingi
siswa dalam berbagai kegiatan, abik itu ekstrakurikuler maupun intrakurikuler.
Bahkan mereka acapkali ditempatakan sebagai “ban serep” yang harus siap
sewaktu-waktu jika ada guru tetap yang berhalangan, alasan sakit, penataran
berhari-hari, pergi rapat, melayat, atau sekedar malas bekerja. Guru tetap atau
senior merasa berhak memperlakukan mereka sebagai pembantu rumah tangga. Guru
tetap yang memperoleh penggajian lengkap dan kesempatan penataran ke sana ke
mari mestinya bekerja lebih sungguh dari pada mereka. Akan tetapi, terjadi
justru sebaliknya. Inilah realita yang dihadapai guru non PNS. Malang benar
nasib mereka!
Dengan membiarkan begitu
banyak para guru berstatus non-PNS, pemerintah atau yayasan swasta telah
bertindak akal-akalan secara tidak adil. Maunya mengeluarkan biaya
sekecil-kecilnya, tetapi pekerjaan semua terlayani. Adakah perbedaan dalam
bekerja dan melayani siswa di kelas antara guru (PNS) tetap dan guru non-PNS?
Apakah siswa melihat kesungguhan guru di kelas berdasarkan guru PNS atau guru-non
PNS? Jika menilik jam-jam mengajar, mereka penuh, maka di lembaga tersebut
secara faktual kekurangan guru. Ada ratusan jam pelajaran yang tidak terlayani
oleh guru PNS. Ironisnya yang jamak terjadi di lapangan, para guru PNS, entah
negeri maupun swasta, ingin mengajar sedikit mungkin. Guru PNS tidak
dimanfaatkan sepenuhnya, sementara guru non-PNS dipenuhkan kewajiban
mengajarnya. Ini sebentuk pemborosan keuangan negara yang perlu disikapi
bersama dan dicarikan solusinya.
Lain halnya dengan guru non-PNS
yang bekerja di lembaga swasta, mereka
lazim disebut sebagai guru magang. Artinya, ada harapan untuk berstatus sebagai
guru PNS, meski setiap yayasan mempunyai kebijakan yang berbeda-beda. Perlakuan
swasta terhadap para guru demikian layaknya untuk disimak, terutama ketika
menimbang untuk menghitung penggajian dan honorarium. Setiap usaha untuk
menaikan angka kesejahtraan selalu memperhitungkan, agar seluruh guru
memperoleh perlakuan yang adil, baik yang magang maupun yang tetap. Menaikan
honorarium per jam pelajaran hanyalah guru non-PNS yang merasakan, sedangkan
menambahkan tunjangan beras hanyalah dirasakan yang berstatus tetap.
Seolah-olah seluruh guru di
negeri ini akan dan sudah menikmati kenaikan gaji atau menerima gaji ke-13
ketika pemerintahan mengumumkan kenaikan gaji para guru. Dengan menyebut nama guru,
pemerintah menganggap telah mencakup semua orang yang mengajar di depan kelas. Padahal,
itu hanya menyangkut mereka yang berstatus sebagai guru PNS atau negeri. Jumlah
mereka yang bukan guru negeri sekurang-kurangnya dua kali lebih banyak daripada
yang negeri.
Akhirnya, pemerintah jangan
merasa telah menyejahtrakan guru dengan menaikkan berbagai tunjangan, dan
kemudian menyalahkan guru seenaknya saja ketika ketidaklulusan yang terbelakang
terjadi di propinsi kita yang tercinta ini. Tunjangan itu hanya baru sebagian
guru yang menikmati. Pemerintah jangan berdalih tidak mampu membayar uang sepeser seluruh guru terutama non-PNS,
mereka adalah penyelamat bangsa juga yang harus perlu diperhatikan kesejahtraan
mereka. Bukan pemerintah menutup mata terhadap mereka. Dan jangan hanya rutinitas
mereka selalu ditingkatkan disertai dengan quantitas waktunya, sedangkan kesejahtraan
mereka sungguh sangat memprihatinkan di
lapangan. Tolong, tengoklah mereka, dan jawablah kebutuhan mereka, dan
perbaikilah kesejahtraan mereka!Merdeka!