Sekarang PPG, bukan SM-3T

Dipublikasikan di Buletin Tirta Kapoer, Edisi 2, Juli 2015, hlm.6-10 
(Oleh:Gusti Omkang Hingmane,S.Pd.,Gr,alumnus FKIP Bahasa Inggris Undana)

Sarjana mendidik di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (SM-3T) adalah suatu program yang diluncurkan Menteri Pendidikan Nasional untuk merekrutmen tenaga guru yang sangat profesional dalam bidang akademik. Kemudian, mereka ditempatkan di daerah 3T.
Kemampuan akademik peserta SM-3T, pada umunya tidak diragukan lagi. Hal itu, dapat dibuktikan pada nilai IPK, yang harus 3.00 ke atas. Selain itu, mereka juga harus dites dengan berbagai tes. Katakanlah, tes online (tes potensi akademik, tes kemampuan dasar, tes penguasaan kompetensi akademik bidang studi/ bidang keahlian), dan tes wawancara.
Berbagai hal yang berhubungan dengan persyaratan pun harus dipersiapkan atau dilengkapi. Katakanlah, berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; bebas dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (napza) yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Bebas Narkoba (SKBN) dari pejabat yang berwenang; Berkelakuan baik yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang dikeluarkan oleh Polres/Polresta (http://seleksi.dikti.go.id/sm3t). Setelah semua persyaratan itu selesai diurus, akan digembleng dalam kegiatan prakondisi. Kegiatan itu berkaitan dengan berbagai kondisi yang akan terjadi atau dihadapi di tempat mengajar, di 3T nanti. Namun, pertanyaannya, seperti apakah keadaan SM-3T itu?
Daerah yang ditempati oleh penulis adalah Kabupaten Dogiyai, Distrik Kamuu Utara,  Desa Idakebo. Di tempat itu, SMP YPPGI Golgota Ikrar Idakebo berada. Selama berada di sana, banyak kendala yang ditemui. Sebagai contoh, fasilitas yang kurang, listrik yang tidak menyala setiap hari, air yang susah, bahkan guru-guru lokal pun SDM-nya sangat minim, dan sangat kurang guru.
Selain itu, guru yang mengajar pun sangat tidak sesuai, apalagi latar belakang yang dimiliki, yang dapat dikata, perlu dididik lagi. Sebagai contoh, guru yang tamatan dari Pendidikan Menengah atau Atas, yang mengajar di SMP atau SMA. Bertalian dengan itu, pertanyaannya, mau dibawa ke mana bangsa ini?
Listrik dan airnya pun sangat susah. Hal yang kami lakukan dengan air ialah, menggali sumur. Air yang didapat pun bukan langsung diminum, tetapi harus disaring karena airnya sangat merah. Disaring dengan menggunakan drum yang di dalamnya terdapat pasir, batu besar, dan krikil.
Sedangkan listrik, kami selalu menggunakan pelita atau lilin. Listrik yang menyala dapat dikatakan senin kamis, atau kadang-kadang, atau pun menyala, cuma  pada pukul 18.00 sampai dengan pukul 20.30. Itulah realita. Apakah pendidikan profesi guru di Universitas Nusa cendana pun demikian? Yeah, may be yes, may be no.

Pendidikan Profesi Guru di Undana
Pendidikan profesi guru bukan sarjana mendidik di daerah terdepan, terbelakang, dan terpencil. Pendidikan profesi bukan sekedar pendidikan karena peserta pendidikan profesi guru kemudian akan menjadi ujung tombak memanusiakan manusia. Melalui mereka pula, kemajuan pendidikan di Indonesia ini akan lebih baik.
Dalam pendidikan profesi ini, segala hal yang berkaitan dengan keempat kompetensi akan tercapai. Kompetensi profesi, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian.   
          Berbicara keempat kompetensi ini, di dalam undang-undang guru dan dosen tahun 2015 mengamanatkan untuk menjadikan guru dan dosen harus profesional. Profesional dalam kompetensi profesi, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian (Hingmane, 2015:3, dalam edisi pertama Juni 2015 buletin Tirta Kapoer).
          Namun untuk mendukung keempat kompetensi tersebut, diperlukan suatu lembaga yang sudah siap untuk memprofesionalkan calon guru profesional yang akan dijuluki guru profesional. Katakanlah, semua tenaga dosen harus sudah bersertifikat profesional,
          Selain itu, segala fasilitas dalam lembaga itu pun harus menunjang keprofesionalan seorang guru. Sebagai contoh, adanya internetan (wify, kalau bisa), adanya perpustakaan, adanya listrik (tidak pernah mati), tersedianya air. Pertanyaannya, apakah dengan tidak ada hal yang demikian dapat menjalankan pendidikan profesi? Itulah pertanyaan dasar yang perlu dihayati.
          Dari pada itu, pertanyaan lanjutan ialah, adakah anggaran yang dapat menangani persoalan seperti hal –hal yang ada di atas? Katakanlah listrik yang selalu padam, atau air yang tidak jalan baik. Persoalan itu, dapatkah itu diganti dengan genset atau lilin atau membelikan bensin untuk mengisi genset. Dengan kata lain, adakah alternatif lain yang dapat ditempuh sebagai solusi.
          Ketika ada persoalan yang dihadapi, kepada siapa kami --mahasiswa PPG-- harus bertemu?  Atau, siapakah yang bertanggungjawab? Apakah Dikti, atau Rektor Universitas Nusa Cendana, atau FKIP Undana? Saya coba untuk merenung, dan bertanya pada rumput yang bergoyang, sambil mengharapkan ada kata NTT (nanti Tuhan tolong) untuk mahasiswa PPG Undana dari semua persoalan --kegelapan dan ketidaklancaran air-- selama ini.
           Jika benar, hal-hal yang dihadapi selama PPG berlangsung, seperti di atas, saya pikir perlu segera ada solusi tertentu yang harus dibuat. Katakanlah, ada pejabat tertentu yang dapat berada di asrama untuk memberikan pemahaman kenapa persoalan itu terjadi. Kemudia dari pada itu, ada suatu solusi real yang dapat dijadikan senjata untuk mengatasi persoalan itu. Sehingga, ada nada positif, PPG, ya PPG, SM-3T, ya SM-3T. Jadi PPG bukan SM-3T. Semoga!
Post a Comment (0)
Previous Post Next Post