(Oleh:Gusti Omkang Hingmane,S.Pd.,Gr,alumnus FKIP Bahasa Inggris Undana)
Sarjana mendidik di
daerah terdepan, terluar dan tertinggal (SM-3T) adalah suatu program yang
diluncurkan Menteri Pendidikan Nasional untuk merekrutmen tenaga guru yang
sangat profesional dalam bidang akademik. Kemudian, mereka ditempatkan di
daerah 3T.
Kemampuan akademik peserta
SM-3T, pada umunya tidak diragukan lagi. Hal itu, dapat dibuktikan pada nilai
IPK, yang harus 3.00 ke atas. Selain itu, mereka juga harus dites dengan
berbagai tes. Katakanlah, tes online (tes potensi akademik, tes kemampuan dasar, tes
penguasaan kompetensi akademik bidang studi/ bidang keahlian), dan tes
wawancara.
Berbagai hal yang
berhubungan dengan persyaratan pun harus dipersiapkan atau dilengkapi.
Katakanlah, berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
bebas dari
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (napza) yang dibuktikan dengan Surat
Keterangan Bebas Narkoba (SKBN) dari pejabat yang berwenang;
Berkelakuan
baik yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang
dikeluarkan oleh Polres/Polresta (http://seleksi.dikti.go.id/sm3t).
Setelah semua persyaratan itu selesai diurus, akan digembleng dalam kegiatan prakondisi.
Kegiatan itu berkaitan dengan berbagai
kondisi
yang akan terjadi atau dihadapi di tempat mengajar, di 3T nanti. Namun, pertanyaannya,
seperti apakah keadaan SM-3T itu?
Daerah yang ditempati
oleh penulis adalah Kabupaten Dogiyai, Distrik Kamuu Utara, Desa Idakebo. Di tempat itu, SMP YPPGI Golgota
Ikrar Idakebo berada. Selama berada di sana, banyak kendala yang ditemui.
Sebagai contoh, fasilitas yang kurang, listrik yang tidak menyala setiap hari,
air yang susah, bahkan guru-guru lokal pun SDM-nya sangat minim, dan sangat
kurang guru.
Selain itu, guru yang
mengajar pun sangat tidak sesuai, apalagi latar belakang yang dimiliki, yang dapat
dikata, perlu dididik lagi. Sebagai contoh, guru yang tamatan dari Pendidikan
Menengah atau Atas, yang mengajar di SMP atau SMA. Bertalian dengan itu,
pertanyaannya, mau dibawa ke mana bangsa ini?
Listrik dan airnya pun
sangat susah. Hal yang kami lakukan dengan air ialah, menggali sumur. Air yang
didapat pun bukan langsung diminum, tetapi harus disaring karena airnya sangat
merah. Disaring dengan menggunakan drum
yang di dalamnya terdapat pasir, batu besar, dan krikil.
Sedangkan listrik, kami
selalu menggunakan pelita atau lilin. Listrik yang menyala dapat dikatakan
senin kamis, atau kadang-kadang, atau pun menyala, cuma pada pukul 18.00 sampai dengan pukul 20.30.
Itulah realita. Apakah pendidikan profesi guru di Universitas Nusa cendana pun
demikian? Yeah, may be yes,
may be no.
Pendidikan
Profesi Guru di Undana
Pendidikan profesi guru
bukan sarjana mendidik di daerah terdepan, terbelakang, dan terpencil.
Pendidikan profesi bukan sekedar pendidikan karena peserta pendidikan profesi
guru kemudian akan menjadi ujung tombak memanusiakan manusia. Melalui mereka
pula, kemajuan pendidikan di Indonesia ini akan lebih baik.
Dalam pendidikan profesi
ini, segala hal yang berkaitan dengan keempat kompetensi akan tercapai.
Kompetensi profesi, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi
kepribadian.
Berbicara
keempat kompetensi ini, di dalam undang-undang guru dan dosen tahun 2015
mengamanatkan untuk menjadikan guru dan dosen harus profesional. Profesional
dalam kompetensi profesi, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan
kompetensi kepribadian (Hingmane, 2015:3, dalam edisi pertama Juni 2015 buletin Tirta Kapoer).
Namun
untuk mendukung keempat kompetensi tersebut, diperlukan suatu lembaga yang
sudah siap untuk memprofesionalkan calon guru profesional yang akan dijuluki
guru profesional. Katakanlah, semua tenaga dosen harus sudah bersertifikat
profesional,
Selain
itu, segala fasilitas dalam lembaga itu pun harus menunjang keprofesionalan
seorang guru. Sebagai contoh, adanya internetan (wify, kalau bisa), adanya perpustakaan, adanya listrik (tidak
pernah mati), tersedianya air. Pertanyaannya, apakah dengan tidak ada hal yang
demikian dapat menjalankan pendidikan profesi? Itulah pertanyaan dasar yang perlu
dihayati.
Dari
pada itu, pertanyaan lanjutan ialah, adakah anggaran yang dapat menangani
persoalan seperti hal –hal yang ada di atas? Katakanlah listrik yang selalu
padam, atau air yang tidak jalan baik. Persoalan itu, dapatkah itu diganti dengan
genset atau lilin atau membelikan bensin untuk mengisi genset. Dengan kata
lain, adakah alternatif lain yang dapat ditempuh sebagai solusi.
Ketika
ada persoalan yang dihadapi, kepada siapa kami --mahasiswa PPG-- harus bertemu?
Atau, siapakah yang bertanggungjawab?
Apakah Dikti, atau Rektor Universitas Nusa Cendana, atau FKIP Undana? Saya coba
untuk merenung, dan bertanya pada rumput yang bergoyang, sambil mengharapkan
ada kata NTT (nanti Tuhan tolong) untuk mahasiswa PPG Undana dari semua
persoalan --kegelapan dan ketidaklancaran air-- selama ini.
Jika benar, hal-hal
yang dihadapi selama PPG berlangsung, seperti di atas, saya pikir perlu segera
ada solusi tertentu yang harus dibuat. Katakanlah, ada pejabat tertentu yang
dapat berada di asrama untuk memberikan pemahaman kenapa persoalan itu terjadi.
Kemudia dari pada itu, ada suatu solusi real
yang dapat dijadikan senjata untuk mengatasi persoalan itu. Sehingga, ada
nada positif, PPG, ya PPG, SM-3T, ya SM-3T. Jadi PPG bukan SM-3T. Semoga!