Gusti Omkang Hingmane, S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, Undana)
sudah
dipublikasikan di media informasi dan komunikasi Undana, no.142/ September
2010
Agama juga terpaut erat dengan negara,
sebagaimana diatur oleh UUD 1945 pasal 29, dan diurusi oleh Kementrian Agama. Di
samping itu, salah satu hal yang menarik juga adalah, adanya pendidikan agama
yang menjadi mata pelajaran atau mata kuliah wajib di semua jenjang pendidikan formal.
Selain itu, ada juga upacara-upacara yang diawali dengan puji-syukur kepada
Tuhan yang juga disertai dengan doa.
Dari hal-hal di atas, kita melihat
agama menembus semua bidang kehidupan di Indonesia . Dari sini dapat diambil
benang merah bahwa di Indonesia ,
Tuhan ada di mana-mana. Hal ini mengingatkan kita akan pernyataan dari seorang
ahli filsafat, Friedrich Nietzhen bahwa “God is dead; therefore man alone is alive (Tuhan telah mati;
maka manusia hidup sendiri), tetapi secara esensial bukan secara
cultural.
Di
samping pernyataan di atas, ada satu pernyataan yang menarik juga yang
diutarakan oleh Drs. Peter Manggut, MA (dosen Undana), dalam soal ujian, dari hipotesis
Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf bahwa “Language determines attitude,
belief, perception, value that make up the world view of every person”. Artinya
apa? Apa yang disampaikan lewat bahasa, baik itu bahasa lisan maupun tulisan,
itulah sebenarnya kita. Karena bahasa yang kita gunakan sebagai representasi
dari apa yang kita punya, dan orang dapat menilai siapa diri kita sebenarnya
dari bahasa tersebut.
Jikalau kita mengaitkan bahasa dengan agama
atau dengan Tuhan. Dan ketika ditanya, apakah anda beragama? Pasti kita semua
berbahasa bahwa kita ber-agama atau ber-Tuhan. Hal tersebut dapat dibuktikan lewat bahasa
yang ada pada KTP (setiap orang beragama). Selain itu juga, UDD 1945, pasal 29
yang mengatur tentang agama, acara-acara resmi (yang selalu menempatkan kata puji-
syukur kepada Tuhan), selalu ada pelajaran
agama (dalam lembaga pendidikan formal), ada partai-partai yang berwarna agama,
adanya sumpah jabatan, demikian pula pada karya ilmiah (laporan penelitian,
atau skripsi), pada bagian awal karya ilmiah lazim ditulis puji-syukur, dan
lain sebagainya. Dari hal-hal tersebut, agama benar-benar menembus kehidupan
sosial bahkan kehidupan politik.
Patutlah dipertanyakan bahwa, apakah
benar, agama yang direperesentasikan lewat bahasa (baik itu bahasa lisan maupun
bahasa tulis) telah menunjukkan siapa diri kita sebenarnya? Karena kenyataan
berbicara, kita selalu melanggar nilai-nilai yang ada pada agama, katakanlah,
jangan mencuri, tetapi kita mencuri (baik itu uang (korupsi uang) maupun barang
yang adalah milik orang lain). Jangan membunuh (baik itu lewat pikiran,
perkataan, maupun perbuatan), tetapi kita tetap membunuh. Jangan bersinah,
tetapi kita selalu bersinah (baik itu lewat pikiran, perkataan, maupun
perbuatan), dan lain sebagainya.
Apakah hal-hal ini yang disebut sebagai orang
yang beragama? Apakah nilai-nilai yang ada pada ajaran agama telah kita
amalkan? Atau event-event di atas cuma sebagai rutinitas dan formalitas saja?
Yang dengan sengaja menyakiti hati Tuhan kan? Atau sejauh mana agama (iman) kita?
Inilah yang patut kita renungkan dan aplikasikan dalam kehidupan!
Pemimpin
Untuk
membangun suatu bangsa yang beradab, adil, dan sejahtra, seharusnya semua
komponen masyarakat harus berpartisipasi dalam mengambil perannya
masing-masing. Salah satunyanya adalah pemimpin. Baik itu pemimpin agama,
mayarakat maupun pemerintah. Sebagai pemimpin, dalam suatu ”masyarakat”,
seharusnya sebagai pemberi contoh dalam kehidupan setiap hari. Sebagai contoh,
kadang-kadang pemimpin dari suatu ”masyarakat” turut serta dalam perkelahiaan,
perjudian, minum minuman keras, korupsi, kolusi, nepotisme dan lain sebagainya,
seharusnya pemimpin dari ”masyarakat” tersebut harus memberiakan contoh yang baik, bukan
menjadi bagian dari hal-hal tersebut. Karena kebanyakan orang berpendapat
bahwa, para pemimpinlah yang memimpin atau berbuat demikian, maka sebagai
pengikut pasti lebih hancur (dalam pengandain diibaratkan guru kincing berdiri dan murid kincing berlari). Sebagai pemimipin
seharusnya memberikan contoh yang baik kepada bawahannya.
Begitu juga pihak pemerintah, seharusnya
menjalankan tugas dan tanggungjawabnya secara baik dan benar. Hal itu dapat
dilakukan dengan memberikan regulasi yang jelas dan tegas. Sebagai contoh dari undang-undang
advokasi, di sana masih terdapat ketidakberesan, dimana para pihak advokat
harus merahasiakan keboborakan kliennya, dan berusaha menjatuhkan lawan klien. Kita
berbuat yang sebenarnya melawan hati nurani kita kan? Apakah ini yang disebut
membangun bangsa secara baik? Apakah dalam agama ini diperkenankan? Seharusnya
kita harus tegakkan keadilan dengan bercermin pada bahasa-bahasa yang ada pada ajaran
agama, katakanlah, jika ya, katakan ya,
jika tidak, katakan tidak. Lebih atau kurang dari itu adalah si iblis.
Begitu juga dengan pihak keamanan.
Seharusnya pihak keamanan dalam menjalankan tugasnya secara bertanggungjawab,
bukan tebang pilih dalam mengurus suatu kasus. Jika salah, katakan salah! Jika
benar katakan benar! Jangan takut pada atasan atau siapa pun, ketika membela
kebenaran. Yakinlah bahwa Tuhan selelu beserta kita!
Di samping itu, pendidikan pun harus
menanamkan nilai-nilai ajaran agama secara baik, dan benar. Pendidikan jangan
hanya mentrasfer ilmu saja tetapi juga harus menanamkan nilai-nilai budi
pekerti (moral). Karena sekolah adalah lembaga pendidikan kedua setelah rumah
tangga. Pendidikan agama yang diselenggarakan di sekolah-sekolah, bukan
mengajarakan bagaimana menghafal tetapi bagaimana mengamalkan ajaran agama.
Menghafal identik dengan pentranferan pengetahuan kosong, karena tanpa
dibuktikan dengan perbuatan.
Diri Sendiri
Salah satu kunci untuk menentukan
bangsa itu beragama atau tidak, adalah berpulanglah kepada setiap individu. Karena
individu beragama akan membentuk satu RT, satu RT akan membentuk satu
kecamatan, satu kecamatan akan membentuk satu kabupaten, dan satu kabupaten
akan membentuk satu propinsi dan satu propinsi akan membentuk satu negera. Untuk
apa kita berbicara bangsa Indonesia yang majemuk ini kalau diri kita sendiri
tidak beragama. Beragama yang dimaksud di sini adalah, bukan sekedar mengimani
agama yang dianut, tetapi disertai dengan pengamalan. Karena iman tanpa
perbuatan adalah maut.
Kita
jangan mengakui sebagai orang yang beragama tetapi bahasa kita tidak
menunjukkan bahwa kita beragama. Hal ini yang banyak kita jumpai di negeri ini.
Oleh karena itu, marilah kita jangan kecewakan Tuhan kita dengan bahasa kita.
Di negeri ini, God is very much alive, but has been cheated most of time (Tuhan
maha hidup, tetapi Ia ditipu terus menerus). Nama-Nya disebut-sebut dalam setiap doa dan upacara, dibahasakan
dalam KTP dan UUD 1945 bahkan diatur oleh Menteri Agama, tetapi pesan-Nya
selalu dilanggar setiap hari, sehingga bangsa ini menjadi ”juara” dalam segala
hal, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, perampokan, pemerkosaan, penganiayaan,
dan lain sebagainya. Atau dapat dikatakan antara perbuatan dan apa yang
diyakini tidak sejalan, atau yang saya katakan, ”Iman Naik Turun”
di akhir dari tulisan ini, ada beberapa
kejadian yang diangkat oleh berbagai media yang disampaikan kembali oleh
penulis sebagi bahan refleksi bersama, yaitu hujan darah, hujan katak, dan lain
sebagainya. Apakah ini bertanda bahwa akhir zaman telah dekat? Jika ya, marilah
kita bersatu hati dalam membangun iman, serta bersungguh-sungguh menjalankan
perintah-Nya di dunia ini, karena Tuhan masih memberikan kesempatan kepada kita
untuk bertobat! Tuhan Yesus memberkati! Merdeka!