Rekrut tenaga guru dan Tranparansinya

Gusti O. Hingmane,S.Pd.,Gr*


Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemedikbud, Sumarna Surapranata di hadapan perwakilan Pemerintah Daerah/Dinas Pendidikan yang hadir, dengan mengatakan, “... tahun ini telah disiapkan 3.500 formasi CPNS untuk GGD tahap II dengan perencanaan penempatan di 150 Kabupaten  yang telah disetujui oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi” (http://klikpendidikan.com/09/10/2015). Namun, pertanyaannya, apakah Pemerintah Daerah/Dinas Pendidikan per Kota/ Kabupaten yang dari NTT ikut dan mendengar apa yang disampaikan? Bagaimana dengan sikap setiap Pemerintah Daerah/Dinas Pendidikan per Kabupaten/ Kota yang dari Propinsi NTT? Apakah telah siap dengan program ini?

                 Dalam kaitan dengan nada positif itu, suatu apresiasi dan sikap hormat yang tinggi, saya alamatkan ke Pemerintah Kabupaten Kupang (Bupati, Ayub Titu Eki) bersama Kepala Kepegawaian Daerah Kabupaten Kupang, yang telah mengeluarkan pengumuman dengan Nomor 800/882/BKD.KAB.KPG/2015, pada tanggal 26 Oktober 2015. Dimana, pengumuman itu untuk menindaklanjuti Surat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Indonesia dengan Nomor 6910/B.B1/KL/2015, pada tanggal 9 Oktober 2015. Perihal dari pengumuman itu ialah, Program Pemenuhan Guru melalui Program Guru Garis Depan (GGD). Dalam nada yang lebih jauh lagi, saya berpikir, hal yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Kupang adalah sama persis dengan stetmen dari Dewan Pembina Persatuan Guru Swasta Indonesia (PGSI), Suparman. Suparman mengatakan, “Perekrutan GGD ini lebih baik diambil dari putra daerah. Hal ini karena mereka lebih memahami geografis dan kondisi di daerah. Dengan cara ini adaptasi mereka pun lebih mudah daripada GGD yang berasal dari daerah lain apalagi perkotaan” (http://www.republika.co.id/20/10/2015).

                 Kedua stetmen yang di atas, adalah nada yang sangat baik, yang mana, keberpihakan kepada anak-anak  daerah (guru-guru asal 3T) dan kualitas pendidikan ke depan sangat tinggi. Namun, dalam konteks ini, ada banyak pemerintah daerah yang sangat tidak peduli dengan peluang yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Indonesia. Memang kenyataan berbicara demikian. Contohnya, banyak Pemerintah daerah yang masih tenang-tenang dengan isu ini. Tidak ada suatu sikap tentang keberpihakan kepada guru 3T dan pendidikan di daerah sendiri. Menurut saya, untuk meralisasikan keberpihakan terhadap guru 3T dan mutu pendidikan itu, dapat dikata, perekrutan atau pendataan guru-guru 3T asal daerah sendiri harus segera dimulai, seperti yang dibuat oleh pemerintah Kabupaten Kupang. Dan kemudian diperjuangkan dalam program Guru Garis Depan (GGD) atau kontrak daerah/propinsi.

 

                 Apa itu Guru Garis Depan (GGD)?

                 Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemedikbud, Sumarna Surapranata mengatakan, “GGD adalah guru berkualitas yang telah disaring dengan ketat. Mereka harus melalui tahapan seleksi yang terdiri dari tes kemampuan dasar dan tes kemampuan bidang. Setiap GGD diwajibkan telah menyandang gelar sarjana dan telah mengenyam Pendidikan Profesi Guru. Selain itu, masing-masing setidaknya punya pengalaman mengajar selama 1-2 tahun di daerah pelosok” (http://nasional.tempo.co/22/06/2015). Lebih jelas lagi, Sumarna Surapranata mengatakan, "Mereka sudah siap pakai. Sudah sarjana, bersertifikat, dan punya kompetensi. Mereka sengaja dilatih dan dicetak untuk mengabdi di daerah paling sulit. Meski sudah punya sertifikat, harus ikut tes CPNS" (http://print.kompas.com/2015/10/12). Selain berperan sebagai tenaga pendidik, para sarjana pendidikan juga diberdayakan untuk memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/21). Oleh karena itu, sekali lagi, di hadapan perwakilan pemerintah daerah/dinas pendidikan yang hadir, Sumarna Surapranata mengatakan, “Tahun ini telah disiapkan 3500 (http://nasional.tempo.co/2015/06/22; http://klikpendidikan.com/09/10/2015; http://kemdikbud.go.id/10/12/2015;    http://www.republika.co.id/15/09/07; http://www.jawapos.com/2015/10/13) formasi CPNS untuk GGD tahap II dengan perencanaan penempatan di 150 kabupaten  yang telah disetujui oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Meski ada moratorium CPNS” (http://klikpendidikan.com/09/10/2015). Bahkan, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemedikbud memperjelas lagi dengan mengatakan, “Kemendikbud berencana menjadikan program GGD ini sebagai kegiatan tahunan” (http://www.republika.co.id/20/10/2015). Dalam nada yang sama, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) Bambang Dayanto Sumarsono mengatakan, "Guru 3T akan diprioritaskan. Berapapun yang diajukan Kemdikbud untuk 3T akan diberikan karena ini mendukung program presiden" (http://www.timorexpress.com/2015/11/07).

                

 

                 Pemerintah Daerah

                 Ada pengumuman dengan bernomorkan BU 420/PK/69/2015, adalah satu hal yang sangat patut dijempoli, yang dibuat oleh Gubernur NTT. Hal itu dapat dilihat pada Harian Pos Kupang (22 November 2015, hlm. 5) mengenai pemenuhan guru dan peningkatan kualitas pendidikan Guru. Mengapa harus dikeluarkan pengumuman itu? Dalam benak saya, karena pemerintah mulai peduli dengan pendidikan di Propinsi Nusa Tenggara Timur ini. Pemerintah mulai mengkampungkan guru-guru dengan status yang agak jelas. Namun persoalannya, mengapa yang direkrut cuma 100 orang guru saja? Padahal, banyak sekolah yang masih kosong. Lanjutan pertanyaannya ialah, mengapa mereka diangkat masih dalam status kontrak?

                 Dalam kaitan dengan hal yang di atas, jika dikaitkan dengan Program Guru Garis Depan,  pertanyaannya, mengapa Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur tidak mendata atau merekrut para guru 3T asal dari daerah ini? Karena dalam skala nasional, program ini sudah diakui, disuarakan, bahkan dilaksanakan secara nasional. Kemudian dari pada itu, tugas pemerintah Propinsi NTT hanya mengubah status dan mendistribusikan ke daerah-daerah dalam Propinsi NTT. Saya pikir, semua pemerintah daerah  pasti akan menerima dengan senang hati. Atau, pasti tidak akan ada nada yang seperti begini,  “Sebagian daerah menolak GGD hanya karena alasan mereka bahwa guru-guru yang diterjunkan ke daerah mereka bukanlah putra/putri daerah” (http://print.kompas.com/2015/10/13; http://satelitnews.co.id/12/11/2015; http://bantenraya.com/12/11/2015).   

            Oleh karena itu, dalam tulisan ini, saya suarakan kembali demi kemajuan pendidikan NTT ke depan, bahwa guru 3T asal daerah NTT sudah cukup banyak. Artinya, untuk menjawab kebutuhan daerah akan guru berdasarkan instruksi Kementerian, NTT sudah bisa memenuhinya. Sikap yang harus segera diambil adalah, mendata dan bila perlu distatuskan yang jelas, lalu didistribusikan ke semua daerah di NTT ini. Atau, dalam nada yang lain, pemerintah propinsi NTT mengusulkan guru 3T asal NTT ini untuk ikut Program Guru Garis Depan, tetapi penempatannya hanya dalam propinsi ini. Dalam kaitan dengan hal ini, patut diapresiasi lagi untuk Pemerintah Kabupaten Kupang yang telah mendata guru-guru 3T-nya. Tugas lanjutannya ialah, pemerintah Kabupaten Kupang harus memperjuangkan nasib para guru 3T itu. Jangan cuma didata saja. Dan hal ini harus menjadi catatan untuk pemerintah daerah lain. Bila perlu, pemerintah daerah lain harus bernada dan bersikap yang sama. Jika hal ini tidak dilakukan segera, maka para guru 3T asal NTT ini akan ditugaskan di luar propinsi NTT dan pendidikan di propinsi ini akan seperti yang dulu. Penyesalan pun pasti akan menghampiri negeri ini. Semoga! 

*Guru SMAN 1 ABAD
Post a Comment (0)
Previous Post Next Post