Bersatu untuk Selamatkan Universitas PGRI

(Pos Kupang, 2 November 2015,hlm.4&7;

(Oleh: Gusti Omkang Hingmane,S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, UNDANA)

                                                                           
Gubernur NTT, Frans Lebu Raya mengatakan, “Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir telah melarang Universitas PGRI Kupang menerima mahasiswa baru pada tahun kuliah 2015/2016” (http://edukasi.kompas.com/5/06/2015). Hal ini juga ditekan kembali oleh Direktur Jendral Kelembagaan Iptek Dikti, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Potdono Suwignjo mengatakan, “...status non aktif tetap diberlakukan pada Universitas PGRI dengan tidak mengaktifkan pangkalan data universitas tersebut. Sanksi juga ada, yakni tidak menerima mahasiswa baru dan mewisudakan mahasiswanya” (Timor Express, 17 Oktober 2015, hlm.7). Nada seperti itu juga diperjelas lagi,Jika suatu perguruan tinggi berstatus nonaktif, maka kampus tersebut tak boleh menerima mahasiswa baru, tak boleh melakukan wisuda, dan tak boleh memperoleh layanan Ditjen Dikti dalam bentuk beasiswa, akreditasi, pengurusan NIDN, sertifikasi dosen, hibah penelitian, partisipasi kegiatan Ditjen Kelembagaan IPTEKDIKTI lainnya, serta layanan kelembagaan dari Ditjen Kelembagaan IPTEKDIKTI” (http://news.detik.com/01/10/2015). Bekaitan dengan itu, Ketua BAN PT Mansyur Ramly (dalam http://edukasi.kompas.com/2015/09/08) mengatakan, "Pak menteri itu memberikan sanksi menghentikan penerimaan mahaiswa baru, kalau kami lain. Kalau kami akan menguji apakah kualitas mutu penyelenggaraannya masih sama dengan waktu kita memberikan akreditasi. Kalau sudah tidak sama lagi karena banyak penyimpangan, kita cabut akreditasinya"    
Beberapa kutipan di atas harus dijadikan cambukan bahkan refleksi untuk Universitas PGRI NTT berbenah diri, khususnya pihak yayasan dan rektorat. Mengapa? Karena universitas PGRI ada dalam keadaan lampu kuning. Selain itu, masa depan 13 ribu mahasiswa (www.timorexpress.com/15/10/2015) ada dalam posisi telur di ujung tanduk alias masa depannya terkatung-katung. Namun, dari nada pak Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir, masih ada hati dan peduli dengan universitas yang bermasalah itu. Dalam pada itu, pertanyaan, mengapa hal ini masih belum diatasi dengan segera? Memangnya, apa yang terjadi di internal universitas yang bermasalah itu, seperti Universitas PGRI?
Pertanyaan di atas itu terjawab dengan jelas pada beberapa kutipan ini, yakni, “Larangan itu ditetapkan karena belum terselesaikan masalah internal” (http://edukasi.kompas.com/5/06/2015). Pernyataan itu dibuktikan dengan, Headline Timor Express (Sabtu, 17 Oktober 2015, hlm 1) dengan judul, Sam Belum Tau, Soleman akan Ketemu Menristek. Atau, pernyataan yang ada di www.suarapembaruan.com/14/06/2014, yang mengatakan bahwa ada pelantikan rektor baru Universitas PGRI NTT, yang dinilai Ilegal. Atau, pernyataan yang ada di www.nttsatu.com/29/06/2015, yang mengatakan bahwa Universitas PGRI Kupang milik dua rektor. Atau, penyataan yang ada di www.sinarharapan.co/25/07/2015, yang mentakan bahwa ada Rektor Kembar Universitas PGRI Kupang.
Kutipan dari beberapa sumber di atas, secara tersirat bahkan tersurat  mengatakan bahwa antara Semuel Haning (pihak Rektorat) dan Soleman Radja (pihak Yayasan) belum mempunyai  visi dan misi serta persepsi yang sama untuk menata Universitas PGRI NTT ke arah yang lebih baik lagi. Mereka belum berpihak kepada masyarakat NTT, khusunya mahasiswa PGRI.  
Dalam nada ini, hal yang sangat memprihatinkan lagi, para mahasiswa masih membagi diri. Ada yang berpihak pada Rektorat, dan ada yang berpihak pada Yayasan. Dalam benak saya, justru dalam persoalan seperti ini, persatuan (seperti sila ketiga pancasila) dari mahasiswa harus digalakkan melalui BEM dan BLM Universitas. BEM dan BLM Universitas PGRI harus tidak berpihak  pada salah satu lembaga ini, dan harus dengan niat yang tulus, bahkan komitmen yang kuat untuk memperjuangkan nasib Universitas PGRI. Caranya, para mahasiswa, yang diwakilkan oleh BEM dan BLM mengahadirkan pihak rektorat dan yayasan untuk berdamai. Dengan adanya perjuangan itu, saya pikir, Universitas PGRI akan kembali berjaya.

Masuk di Undana Susah
Semua masyarakat NTT, khususnya mahasiswa PGRI jangan terlalu berharap dengan kutipan ini, “Kementerian Riset dan Pendidikan Dikti (Kemenristek Dikti) kembali mewacanakan alih kelola Universitas PGRI NTT ke Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang sebagai pembina perguruan tinggi negeri maupun swasta di NTT untuk menyelamatkan mahasiswa” (http://kupang.tribunnews.com/13/10/2015). Atau dalam www.timorexpress.com/15/10/2015, Rektor Universitas Nusa Cendana, Prof. Ir. Fredrik L Benu, M.S, Ph.D  mengatakan bahwa sebagai lembaga yang adalah perpanjangan tangan Kemenristek Dikti, Undana siap menjalankan perintah. Namun, tentu harus melalui mekanisme yang berlaku, yakni, pertama, semua mahasiswa yang masuk ke Undana harus dilakukan re-akreditasi untuk tiap mata kuliah. Semua mahasiswa tersebut akan dicek kembali, apakah mengikuti proses kuliah selama menjadi mahasiswa di PGRI sesuai dengan aturan yang berlaku atau tidak, yakni 16 kali tatap muka per semester. Lanjutan dari pada itu ialah, bagaimana nilai mid semester maupun semester selama ini. Apakah nilai-nilai mid atau semester sesuai proses perkuliahan atau asal jadi.
Persoalan kedua adalah, tidak tersedianya sarana prasarana. Dalam persoalan ini, Undana akan sangat kewalahan kalau Undana mau menerima mahasiswa PGRI karena saat ini saja, Undana memiliki 24 ribu mahasiswa. Kalau ditambah lagi 13 ribu lagi, maka bisa dibayangkan seperti apa proses kuliahnya. Gedung mana yang akan dipakai untuk kuliah. Dan bagaimana dengan dosennya. Sedangkan Undana sendiri masih sangat kurang dosen.  Persoalan ketiga adalah, kalau semua mahasiswa ditransfer ke Undana maka uang kuliahnya siapa yang bayar? Jika yayasan, yayasan yang mana? Jika rektorat, rektorat yang mana?
Beberapa kutipan di atas, kenapa pada sub judul awal kalimat, saya katakan, jangan terlalu berharap? Karena pada ketiga point yang dikatakan di atas, terjawab dengan pasti bahwa, pengalihan ke Undana adalah sesuatu yang tidak mungkin. Selain ketiga hal itu, satu hal yang perlu diketahui bersama oleh masyarakat NTT, ialah, Undana saat ini juga dalam posisi bermasalah. Persoalannya ialah, Kampus Undana II di Bajawa Fakultas Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) juga dalam keadaan bermasalah. Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi V DPRD Nusa Tenggara Timur (NTT), Kasimirus Kolo (http://sinarharapan.co/news/15/5/2015).

Harapan Masayarakat
Memang benar, banyak masyarakat yang sudah cemas dengan konflik yang berlarut-larut yang terjadi di internal universitas PGRI NTT  dan mereka berharap  Menristek Dikti bersikap  tegas (www.nttprov.go.id/18/08/2015). Mengapa? Karena banyak orang tua yang menyekolahkan anak-anak (yang 13 ribu mahasiswa) mereka di universitas ini. Mereka (orang tua-red) rela makan, minum, pakai seadanya demi anak-anak mereka mengeyam pendidikan di Universitas PGRI. Harapan orang tua, anak-anak mereka dapat membantu meringankan beban perekonomian di dalam keluarga mereka, setelah wisuda.
Tidak salah, di media ini, ada mahasiswa PGRI yang menyuarakan bahkan mengecam Gubernur NTT (Pos Kupang, 21 Oktober 2015, hlm.2). Hal itu disuarakan mungkin karena, pertama, mereka (mahasiswa) peduli dengan persoalan pendidikan yang tejadi di Universitas PGRI. Harapan mereka, persoalan yang terjadi dapat terselesaikan segera. Kedua, mereka terbeban dengan keringat orang tua yang selalu membanting tulang demi menyekolahkan mereka. Mereka juga mengingat sudah berapa rupiah yang dihabiskan. Ketiga, mereka menganggap bahwa pak Frans Lebu Raya adalah orang tua atau pemimpin di propinsi ini,  yang  bisa  menyelesaikan persoalan  ini. Dalam hal ini, diharapkan, gubernur bisa menghadirkan Menristek Dikti dan pihak yayasan serta rektorat untuk duduk bersama-sama memecahkan persoalan ini.
“Ada tiga sanksi bagi kampus yang melakukan pelanggaran. Sanksi ringan, sanki sedang, dan sanksi berat. Sanksi ringan berupa surat peringatan, sanksi sedang berupa status nonaktif, dan sanksi berat berupa pencabutan izin” (http://news.detik.com/01/10/20115). Dari kutipan ini, universitas PGRI NTT ada pada posisi sanksi sedang. Artinya, universitas PGRI masih mempunyai waktu untuk bersatu dan memperbaiki kembali persoalan internal dan status universitas. Sehingga perkatan dari pak menristek Dikti, “Menteri malah puji dan meminta (Semuel Haning) terus mengembangkan Universitas PGRI secara baik untuk masyarakat NTT" (www.beritasatu.com/28/05/2015) dapat terbukti. Dan  saya pikir, bukan hanya Menristek Dikti  yang akan memuji, tetapi semua masyarakat NTT, apalagi  yang  anaknya sedang berkuliah di PGRI.      
Oleh karena itu, persatuan dan kesatuanlah yang perlu digalakan dalam internalnya universitas PGRI. Baik itu persatuan tingkat mahasiswa lewat BEM dan BLM, maupun persatuan tingkat Rektorat, maupun persatuan tingkat Yayasan, yang kemudian dibungkus dalam satu persatuan, yakni persatuan Universitas PGRI NTT. Dengan adanya persatuan tingkat universitas ini, universitas dapat berstatus aktif, boleh menerima mahasiswa baru, boleh melakukan wisuda, dan boleh memperoleh layanan Ditjen Dikti dalam bentuk beasiswa, akreditasi, pengurusan NIDN, sertifikasi dosen, hibah penelitian, partisipasi kegiatan Ditjen Kelembagaan IPTEKDIKTI lainnya, serta layanan kelembagaan dari Ditjen Kelembagaan IPTEKDIKTI. Salam persatuan!




Post a Comment (0)
Previous Post Next Post