(Oleh:
Gusti Omkang Hingmane,S.Pd.,Gr, alumnus FKIP bahasa Inggris, UDANA)
(Sudah dipublikasikan di Media Informasi dan Komunikasi Undana,, no. 141/Agustus 2010)
Language determines attitude, belief, perception, value
that make up the world view of every person…. Begitulah kurang lebih hipotesis
Sapir-Whorf. Artinya apa? Apa yang disampaikan lewat bahasa, baik itu bahasa
lisan maupun tulisan, itulah sebenarnya kita. Karena bahasa yang kita gunakan sebagai
representasi dari apa yang kita punya, dan orang dapat menilai siapa diri kita
sebenarnya dari bahasa tersebut.
Dari pernyataan di
atas, coba kita melihat ke Universitas kesayangan kita ini, Undana, dimana
Universitas ini telah menggelorakan visinya sebagai Universitas berwawasan
global. Artinya, apa yang kita lakukan sama dengan negara-negara yang
universitasnya telah mendunia, yang dapat ditunjukkan dengan “on line”, banyak
professor, banyak penelitian dan lain-lain. Mungkin sampai di sini, kita sangat
setuju dengan pernyataan ini, yakni Universitas berwawasan global.
Namun, ketika pertanyaan muncul yang sama persis dengan
statement di atas, katakanlah, apakah bahasa itu (Universitas berwawasan
global, baik itu lisan maupun tertulis) telah merepresentasi diri Undana
sebagai Universitas berwawasan global? Sebagi contoh yang dibuktikan dengan “on
line” yang setengah-setengah, dan memakan waktu begitu lama karena tanpa ada
sosialisasi. Di samping itu, apa
saja yang di-on line-kan? Dan lain sebagainya. Saya pikir ada berbagai masalah
yang kita hadapai dan atau muncul di dalam benak kita, jika kita mengamati
realita yang sesungguhnya dalam kampus kesayangan kita ini.
Dalam
tulisan ini, saya coba mengupas beberapa masalah yang menurut saya mempunyai
peran yang sangat penting, selain hal-hal yang telah mengglobal yang kita
ketahuai bersama, seperti ada banyak profesor, adanya banyak penelitian yang
dilakukan oleh para dosen, adanya ”on line” (walaupun masih berbelit-belit),
dan lain-lain. Tetapi, dalam tulisan ini saya lebih cendrung ke beberapa hal
kecil yang patut saya sampaikan (karena saya sendiri mengalaminya). Dan saya teringat akan pesan yang mendorong saya untuk menulis,
yakni “kebanyakan orang jatuh karena terantuk pada batu kecil”. Batu-batu kecil
dalam Universitas ini adalah, 1) Tidak adanya tenaga pegawai di tingkat jurusan, apalagi program studi; 2) Kurangnya
fasilitas penunjang; dan 3) Hilangnya bahasa global, yakni bahasa Inggris.
Tidak Adanya
Tenaga Pegawai
Saya sangat merasa sedih dan kasihan melihat kondisi
yang ada di tingkat jurusan dan program studi, khususnya Pendidikan Bahasa dan
Seni (PBS) dan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, dimana ketua jurusan
dan ketua program studi yang adalah dosen juga harus diperlakukan seperti
pegawai biasa yang setiap saat harus pusing mengurus administrasi. Hal ini
membuat ketua jurusan dan ketua program studi
hampir sama sekali tidak melihat keadaan jurusan dan program studi untuk
dapat mengembangkannya ke arah yang lebih baik lagi. Di program studi dan
jurusan ini, ketua program studi dan ketua jurusan harus membanting tulang demi
dapat menjalankan multi job-nya itu. Walaupun membanting tulang, tetapi tentu
saja tidak mencapai hasil yang maksimal, hal itu dikarenakan banyak kegiatan
yang dirangkap oleh mereka. Dan jika ketua program studi atau ketua jurusan
lagi sibuk atau “bad mood” mahasiswa diusir seperti binatang. Mahasiswa
diterlantarkan. Mahasiswa dianaktirikan.
Di samping itu
pula, para dosen juga dimultifungsikan job-nya, karena selain mengajar, mereka
juga harus sibuk membuat daftar hadir dan melaporkan ke tingkat program studi. Hal
yang juga sangat menyedihkan juga, para dosen harus turun naik tangga program
studi untuk dapat mengisi daftar hadir di saat jam kuliah. Dalam pada itu, di
jurusan ini ada satu ruang untuk ketik-mengetik, dan internetan, yakni Resouce Center . Di tempat ini juga, ada seorang
dosen, yang adalah dosen yang kerjanya cuma mengajar juga disibukkan dengan
kerja ini, yakni mengatur para pengunjung (mahasiswa) yang mau memakai jasa
tersebut. Demi dapat memenuhi tuntutannya mahassiwa, dosen tersebut setiap hari
kerjanya mulai dari jam 8 (delapan) pagi hingga jam 8 (delapan) malam. Namun
kadang kala dosen tersebut “sibuk”, dan tidak datang kampus, dan ini membuat
para mahasiswa harus mencari warnet yang lain walaupun telah menjadi anggota
aktif (harus membayar 50 ribu rupiah). Bukankah
ini tugas pegawai untuk mengantur daftar hadir? Bukankah ini tugas pegawai untuk mengelola tempat
untuk ketik-mengetik dan internetan tersebut atau tempat untuk teknisi?
Saya
pikir ini sesuatu hal yang sangat memprihatinkan, dan ini perlu segera dibenahi
oleh pihak Universitas. Karena di mata saya, penempatan pegawai tidak
berdasarkan jumlahnya mahasiswa dan kebutuhan yang ada pada setiap jurusan atau
program studi. Contohnya di FKIP, mahasiswa terbanyak, tetapi pegawai di FKIP
masih dapat dihitung dengan jari, apalagi di tingkat program studi, tidak ada
satu pegawai pun yang ditempatkan di sana. Situasai ini sungguh sangat
disayangkan terjadi di Universitas berwawasan global ini.
Kurangnya Fasilitas
Ada satu teman saya pernah
katakan, bahwa kita (mahasiswa FKIP, program studi bahasa Inggris)ini kaya uang,
tetapi sangat miskin fasilitas. Artinya apa? Kalau kita melihat ke dalam
Program Studi Bahasa Inggris memang hal itu benar-benar terjadi dan kita tidak
dapat menyangkal. Sebagai contoh, mahasiswa yang terdiri dari ekstensi,
reguler, dan transfer, dalam perkuliahannya harus berpindah-pindah gedung. Jam
tertentu kuliahnya di Pusat Bahasa, jam tertentu kuliahnya di Perpustakaan, dan
jam tertentu kuliahnya di program studi (FKIP). Hal ini sungguh sangat memakan
tenaga, waktu, dan perasaan. Kadang-kadang mengikuti kuliah (jam berikutnya) di
gedung yang lain, ketika tiba, dosennya telah ada di kelas dan sedang mengajar.
Dan kadang-kadang kami tidak diperkenankan masuk. Dari hal ini, saya sering
bertanya, apakah keeksistensian pendidikan Bahasa Inggris diiyakan atau tidak?
Soalnya dipermainkan seperti bola, yang terguling tidak jelas ke mana arahnya,
di mana tempat kuliahnya yang sebenarnya.
Di samping
itu pula, toilet yang ada di jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni sampai sekarang
masih terkunci dan tersegel rapih, dan saat-saat membutuhkannya, mahasiswa
diharuskan lari cepat (sprint) ke toilet yang ada di BAAK. Hal tersebut senada dengan keluhan seorang
teman mahasiswa, “sial, saat saya tiba di toilet, saya menemukan tulisan
“toilet buntu”. Dengan
menahan desakan di perut, saya segera mencari toilet yang di kantor pusat.
Lagi-lagi sial. Di toilet itu saya tidak menemukan setetes airpun tersedia…ya,
hanya gara-gara buang air, saya terpaksa pontang-panting mencari toilet,
sampai-sampai ketinggalan tidak mengikuti materi kuliah di kelas. Untungnya,
saya masih punya teman di kos-kosan. Bagaimana jika tidak? Saya mungkin
terpaksa menahan perut yang sedang sakit hingga tibanya di rumah. Lantas
seandainya, gara-gara menahan buang air, mengakibatkan saya sakit pencernaan,
apakah kira-kira Undana mau menanggung kerugian yang saya alami” (Warta Undana,
Februari, 2010: 2)
Hal yang
sangat memprihatinkan juga adalah, tidak adanya lab bahasa untuk jurusan
bahasa, yang ada adalah Pusat Bahasa. Kadang-kadang bahkan selalu dalam kuliah
”Listening”, kami (mahasiswa bahasa Inggris) diperdengarkan dengan tape
recorder. Hal ini membuat saya sangat berlinang air mata bahkan menyayangkan
hal ini. Dan sering berpikir dan membandingkan, bahwa lab bahasa yang global adalah
lab bahasa yang ada di SMA, tempat sekolahku.
Hilangnya Bahasa Global
Mengapa dikatakan
hilangnya bahasa global (bahasa Inggris)? Karena kursus yang waktu itu
dilakukan oleh Universitas bersama Pusat Bahasa sebelumnya, telah terkubur oleh
sang waktu, atau dapat dikatakan panas-panas tai ayam. Karena sampai sekarang
teman-teman yang membayar uang kursus, belum dikursuskan, begitulah keluhan
teman-teman mahasiswa. Mereka membandingkan kursus-kursus yang sebelumnya
berlangsung lebih awal ketimbang sekarang, dengan disertai pertnyaan, apakah
kursus itu masih berlaku atau tidak? Saya pikir hal ini perlu cepat direspon
sebelum berbagai isu dilontarkan lagi.
Saya sering
berpikir, kita jangan katakan sebagai Universitas global, sedangkan bahasa yang
kita digunakan dalam kegiatan belajar dan mengajar adalah bahasa Indonesia.
Setidak-tidaknya untuk mendukung Universitas berwawasan global ini, kegiatan
kursus harus tetap terus dilaksanakan, bila perlu dalam setiap perkuliahan,
kita harus gunakan bahasa Inggris sebagai bahasa global. Dalam penggunaan ini,
tidak hanya diharuskan untuk program studi bahasa Inggris saja, tetapi semua
jurusan atau program studi yang ada di Undana ini, agar dapat menunjang
Universitas berwawasan global ini. Saya pikir ini segera dicarikan solusi dan
ditunjukkan bahwa Universitas kita berwawasan global, bukan ”local University
but global University” atau tidak timbul pernyataan seperti ”global University
but act locally” dan lain sebagainya.
Jadi, kita
jangan melakukan hal-hal yang besar saja, dan yang kecil-kecil dilupakan,
karena untuk mencapai hal yang besar dimulai dari hal yang kecil. Sebagai
contoh penempatan pegawai di tingkat program studi, agar para ketua program
studi dan ketua jurusan bersama dosen lebih teratur memikirkan kemajuan program
studi atau jurusan dan khususnya Universitas ini. Dan diharapakan penempatan
pegawai berdasarkan jumlahnya mahasiswa dan kebutuhan jurusan dan program studi.
Dan jika terbatasnya pegawai, pihak Universitas segera merekrut tenaga honor
yang handal, yang dapat bekerja dalam pengadministrasian dan pengarsipan. Di
samping itu, fasilitas juga harus segera dilengkapi, jangan membangun bangunan
yang tidak ada utilitasnya, seperti lapangan bola voli yang berada di samping
jurusan Bahasa dan Seni, karena hal itu, tidak mempunyai kontribusi sedikit untuk
mendukung Universitas berwawasan global. Apalagi, kami orang bahasa tidak butuh
lapangan voli, tetapi kami cuma butuh Lab Bahasa dan tambahan ruangan, karena
kami laksana tak berkediaman. Dan yang terakhir, bahasa global seharusnya
diterapkan di semua program studi atau jurusan agar benar-benar menunjukkan Universitas
global. ”Bahasa menunjukkan bangsa”, saya pikir pesan seperti ini yang perlu
kita hayati dan membuat perubahan. Memang hal-hal tersebut kelihatan sepele,
tetapi sebenarnya mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap Undana ini.
Marilah kita membangun Universitas yang berwawasan global, yang dimulai dari
hal-hal yang kecil! Merdeka!