(Oleh: Gusti Omkang Hingmane,S.Pd.,Gr, alumnus FKIP Bahasa Inggris, UNDANA)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nota artinya, 1) surat peringatan (penunjukan, catatan); 2) surat keterangan resmi (dari duta kepada pemerintah suatu negara atau sebaliknya); 3) surat penjelasan resmi dari jawatan (pemerintah, pemerintah daerah, dan sebagainya). Sedangkan nota yang dimaksud saya adalah, para pemakan ubi jalar, yang ada di Papua, pada umumnya, dan Kabupaten Dogiyai, pada khususnya.
Pada media ini, saya lebih cenderung memusatkan kata nota untuk siswa/siswi yang makanan utamanya adalah ubi jalar. Secara kasat mata memang benar, ada nota yang dikonsumsi dan ada nota yang seharusnya benar-benar harus disosialsaikan oleh pihak yang berwenang dalam dunia pendidikan, yang berkaitan dengan guru dan tugas pokoknya, di pulau Papua, khususnya Kabupaten Dogiyai.
Ketika hal itu dikaitkan dengan realitas pendidikan, banyak guru yang masih harus digembleng agar bisa menjadikan nota-nota yang baik kualitasnya. Guru-guru yang benar-benar guru. Bukan hanya guru asal-asalan, yang kerjanya cuma mengajar melulu. Bukan guru masuk kelas pada tanggal muda, atau saat pembagian dana bos, atau datang pukul 10.00 dan pulang 10.10 pagi.
Bertalian dengan hal di atas, dampaknya adalah, tingkat kebrutalan siswa/siswi sangat tinggi. Katakanlah, para pelajar yang sangat kurang beretika baik kepada guru-guru (saya sendiri pernah diusir dengan parang oleh siswa) maupun antar sesama; suka melawan; tidak mau mengerjakan tugas; sukanya bermain; disuruh belajar, acuh tak acuh. Entah mengapa? Itu pun masih dalam pertanyaan besar saya. Apakah karena kurang berpendidikannya orang tua, atau tingkat partisiapsi pelajar dalam kegiatan belajar yang sangat minim, atau kurang profesionalnya guru-guru yang ada? Dalam syairnya Ebit bahwa, mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Hal yang lebih serius lagi, pemahaman terhadap Bahasa Indonesia sangat minim. Kami yang guru SM-3T, sungguh sangat sulit dalam mengajar. Hal yang sama diulang-ulang sampai tenggorokan bergoyang pun sulit dipahami. Pada hal, Bahasa Indonesia adalah Bahasa Nasional. Apakah Papua adalah NKRI? Ya, sangat NKRI.
Hal seperti di atas harus segera dinotai kepada pemerintah daerah, dalam hal ini dinas pendidikan, oleh pemerintah propinsi atau Kementerian pendidikan, untuk segera dibenahi, khususnya dinas Pendidikan dan sekolah-sekolahnya. Karena, sungguh malang anak-anak nota di negeri Papua. Guru-guru tidak mengerti dengan bidang studi yang yang diajar, tetapi harus mengajar. Dan guru-guru juga masih mengajar rangkap.
Dan hal ini juga harus segera dievaluasi sedini mungkin, pada setiap Universitas yang menjebolkan putra/putri dari daerah Papua. Tolong orientasikan kualitan kependidikan, bukan hanya money oriented, but quality oriented.
Dengan ada solusi untuk setiap persoalan di atas, saya pikir, para nota alias pelajar, yang adalah mutiara hitam, akan menjadi banyak Denis yang luar biasa. Semoga!